GridHype.ID - Pandemi Covid-19 di Indonesia semakin melonjak tinggi.
Bahkan kini, pemerintah menetapkan kebijakan PPKM Darurat.
Kebijakan PPKM Darurat ini berlangsung mulai dari 3 hingga 20 Juli 2021.
Kecemasan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19 yang melonjak naik hingga sampai membuat panic buying.
Masyarakat banyak yang memburu obat, suplemen, vitamin untuk memperkuat imun.
Terbaru, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy seperti yang dilansir dari Kompas.com, menegaskan siapa pun tidak boleh ada yang menimbun obat untuk Covid-19.
Muhadjir menilai, penimbunan tersebut akan sangat menganggu upaya penanggulangan Covid-19 yang tengah dilakukan.
Terlebih larangan penimbunan juga sudah tercantum dalam surat edaran (SE) Menteri Kesehatan dan Polri.
"Ini tentu sangat mengganggu karena itu sudah ada SE Menkes dan larangan dari Polri pokoknya tidak boleh ada yang melakukan praktik penimbunan," tegas Muhadjir dalam kunjungannya ke Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur di Kota Surabaya, PT Interbat di Sidoarjo, dan Instalasi Gudang Farmasi di Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik, dikutip dari siaran pers, Rabu (14/7/2021).
Muhadjir mengatakan, penimbunan obat terapi Covid-19 seperti Azithromycin yang dilakukan para oknum sangat merugikan masyarakat.
Sebab obat-obat tersebut sangat diperlukan untuk memerangi Covid-19.
Bahkan baru-baru ini sampai santer beredar soal isu interaksi obat luar yang justru bisa memperparah pasien Covid-19 bahkan hingga menyebabkan meninggal dunia.
Dilansir dari GridStar.ID dari Kompas.com,hal ini pun langsung mendapat tanggapan dari guru Besar Fakultas Farmasi UGM.
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Zullies Ikawati menegaskan, interaksi obat tidak serta merta membuat seseorang meninggal dunia termasuk pasien Covid-19.
"Interaksi obat tidak semudah itu membuat mati. Dan hal ini menunjukkan juga perlunya kerjasama antar tenaga kesehatan dalam memberikan terapi kepada pasien, sehingga dapat memantau terapi dengan lebih cermat," kata dia mengutip dari Kompas.com, Senin (12/07).
Zullies menjelaskan interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien.
Baca Juga: Kabar Gembira, Kasus Angka Sembuh Pasien Positif Covid-19 Semakin Meningkat, Pecah Rekor Lagi
Sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya karena sifat interaksi itu bisa bersifat sinergis atau antagonis.
“Bisa meningkatkan, atau mengurangi efek obat lain. Interaksi obat juga ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Jadi, tidak bisa digeneralisir dan harus dikaji secara individual," kata dia.
Menurut dia, banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat, apalagi jika penyakitnya lebih dari satu. Bahkan, satu penyakit pun bisa membutuhkan lebih dari satu obat seperti hipertensi.
Pada kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat tunggal maka dapat ditambahkan obat antihipertensi yang lain, bahkan bisa kombinasi 2 atau 3 obat antihipertensi.
"Pada Covid yang bergejala sedang sampai berat misalnya, sangat mungkin diperlukan beberapa obat untuk mengatasi berbagai gejala tersebut. Justru jika tidak mendapatkan obat yg sesuai dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian," ungkap Zullies.
Dia mengaku, interaksi obat bisa merugikan jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yang digunakan bersama.
Bisa juga, sambung dia, adanya suatu obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, sehingga akan semakin meningkatkan risiko total efek sampingnya.
Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan.
Dia memberi contoh obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung maka bisa terjadi efek total yang membahayakan jika digunakan bersama.
Selain itu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan.
Lalu, bagaimana menghindari interaksi obat?
Menurut Zullies sebetulnya itu tergantung dari mekanisme interaksinya, apakah pada aspek farmakokinetik (memengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain) atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target aksinya).
Ada interaksi obat yang bisa dihindari dengan cara mengatur cara pemberiannya supaya tidak diberikan dalam satu waktu.
Ada pula, sambung dia, yang diatur dengan cara menyesuaikan dosis, atau bahkan ada yang dihindari dengan mengganti sama sekali dengan obat lain yang kurang berinteraksi.
"Sekali lagi, hal ini tidak bisa digeneralisir dan harus dilihat kasus demi kasus secara individual. Bahkan, kadang tidak semua kejadian interaksi obat itu bermakna klinis, walaupun secara teori ada kemungkinan interaksi," ujar Zullies.
Berikut penjelasan guru besar UGM terkait dengan pembicaraan di masyarakat yang mengangap kalau interaksi obat membuat pasien Covid-19 meninggal. Gimana? Sudah jelas kan sekarang?
(*)