Baca Juga: Jangan Sampai Terkecoh dengan Pedagang Nakal, Ini Ciri Tempe yang Harus Kamu Waspadai
Semua tabungannya ia gunakan untuk membeli berbagai perlengkapan dan memproduksi sekitar 50 kilogram tempe per malam, di tempat awalnya, menyewa dapur Hope Co-op Natural Foods di dekat Portland, Oregon, yang digunakan setelah cafe itu tutup.
Sejumlah pelanggan pertamanya, kata Seth, termasuk "orang-orang Indonesia yang tinggal di Portland, Oregon.
Saya antar tempe ke rumah-rumah mereka dan mereka senang." "Setiap minggu, saya juga mengirim tempe ke toko-toko dan restoran di kawasan Portland.
Tiga bulan setelah mulai, saya dapat telepon dari distributor yang ingin memesan sekitar 500 kilogram tempe setiap minggu," kata Seth.
Dari sinilah ia mulai mencari tempat baru dan membaca tentang produksi tempe di Malang.
Produksi tempe di Husum, berlangsung selama 10 tahun, masa yang menurut Seth, tak begitu menguntungkan. "Saya hidup dengan sekitar 300 dollar AS per bulan.
Untuk menekan biaya, saya menyewa empat pohon dari tetangga, dan saya bangun rumah pohon dan di situlah saya tinggal selama tujuh tahun."
Namun dia mengatakan, saat itu adalah "tahun-tahun yang mengasyikkan karena saya mengerjakan sesuatu yang saya senangi dan saya membawa tempe ke Amerika.
Namun setiap tahun, keuntungan sedikit bertambah besar," ceritanya.