GridHype.ID - Belum lama ini, Indonesia diketahui telah mengimpor bahan rempah berupa jahe dari Myanmar dan Thailand.
Namun, jahe-jahe tersebut justru dimusnahkan oleh Wakil Ketua Komis IV DPR Dedi Mulyadi.
Melalui akun Instagram pribadinya, Dedi Mulyani diketahui memimpin kegiatan pemusnahan jahe impor karena membawa penyakit bawaan negara asal.
"Kemarin saya memimpin kegiatan pemusnahan jahe impor karena mengandung unsur tanah yang membawa penyakit dari negara asalnya," tulisnya beberapa waktu lalu.
Tak hanya bahan rempah, nampaknya pemerintah juga segera mengimpor kebutuhan dapur lainnya seperti garam.
Melansir dari kompas.com, petani garam yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Petambak Garam (HMPG) minta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan impor garam yang tahun ini ditetapkan sebanyak 3,07 juta ton.
Ketua Umum HMPG Mohammad Hasan di Surabaya, Kamis, mengatakan, kuota garam impor yang ditetapkan pemerintah tersebut lebih besar dibanding pada 2020 yang berjumlah 2,7 juta ton.
"Sementara stok garam rakyat tahun lalu sebanyak 1,3 juta ton dan stok garam perusahaan pengolah garam yang diimpor tahun 2020 sampai sekarang masih menumpuk," kata dia, dilansir dari Antara, Jumat (26/3/2021).
Dampaknya, kata Hasan, harga garam di pasaran anjlok karena tidak terserap oleh konsumen rumah tangga maupun industri.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Nelayan NU, Wicaksono, mengatakan, harga garam lokal di tingkat petani kini hanya mencapai Rp 100-200 per kilogram.
Harga garam yang menyusut itu terjadi di tiga sentra produksi, yakni Indramayu, Madura, dan Nusa Tenggara Timur.
"Setelah melihat dan mendengar di lapangan secara langsung dari para petani garam, mereka menyatakan keresahan terkait produksi garam yang tidak terserap oleh pasar, bahkan di tingkat petani sekarang Rp 100-Rp 200 per kg. Ini tentu sangat meresahkan," kata Wicaksono.
Harga garam yang terlalu murah itu membuat petani tak mendapat keuntungan.
Bahkan, para petani di beberapa sentra produksi mengaku hasil panennya hanya bisa untuk membeli 15 kilogram beras.
Agar harganya tidak terus menyusut, dia meminta pemerintah menetapkan harga acuan garam lokal di level Rp 700-Rp 1.000 per kilogram.
Pasalnya, harga garam impor yang dibeli Indonesia Rp 1.000 per kilogram.
"Bahkan (garam impor) dari china sendiri sekitar Rp 1.500 per kg. Sedangkan hari ini harga garam di level petani hanya menyentuh Rp 100-Rp 200 kg," ungkap Wicaksono.
Menurut Hasan, impor garam dengan alasan kualitas garam rakyat yang dibilang rendah hanyalah pembenaran bagi importir.
"Pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui program peningkatan kuantitas dan kualitas garam rakyat. Di antaranya melalui penerapan teknologi berupa geoisoiator atau membrane," ujar dia.
Hasan juga mendorong agar pemerintah menetapkan harga dasar atau harga pokok pembelian (HPP) garam rakyat sebagai bahan baku dan penolong industri untuk menjamin kepastian usaha dan pemasaran sebagai bentuk perlindungan dan pemberdayaan kepada petambak garam.
Satu lagi yang jauh lebih penting, kata dia, pemerintah harus tegas untuk menghentikan impor garam, khususnya untuk aneka pangan.
"Impor garam harus dihentikan mulai tahun 2021 selama stok garam di dalam negeri masih dapat memenuhi kebutuhan garam nasional dan wajib bagi para pengusaha industri garam untuk menyerap stok garam rakyat sampai habis terlebih dahulu," tutur dia.
Sementara itu, produksi garam nasional pada 2019 tercatat mencapai 2,9 juta ton dan di wilayah Jatim mencapai 1,1 juta ton.
Pada 2020, produksi garam nasional turun akibat cuaca yakni mencapai 1,7 juta ton, dan khusus Jatim sebanyak 900.000 ton.
“Untuk tahun ini, kalau cuaca baik tidak menutup kemungkinan produksinya akan naik menjadi 3 juta ton secara nasional, dan di Jatim proyeksinya sekitar 1,2 juta ton,” kata Hasan.
(*)