"Karena ada yang menyuruh, kemudian ada yang melakukan, turut serta, ada yang merencanakan ya, terus kemudian ada turut membantu."
"Ya ini bisa saja dianggap sebagai sebuah pembunuhan berencana," kata Suparji Ahmad.
Tapi, kemudian dalam persidangan, pengacara tersangka bisa berdalih bahwa yang dilakukan kliennya merupakan spontanitas.
"Tetapi kan bisa saja pengacara tersangka membantah, ini adalah sebuah spontanitas."
"Ini adalah sebuah reaksi, bahwa ini adalah sebuah emosi, jadi tidak mudah memenuhi unsur 340 itu," ujarnya merujuk pasal dalam KUHP tentang pembunuhan berencana.
Menurut dia, rekonstruksi pembunuhan Brigadir Pol Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang digelar Tim Khusus Polri dinilai tidak logis.
"Tidak sesuai ekspektasi publik, karena tidak menggambarkan imajinasi publik dan juga tidak menggambarkan fakta yang mengemuka di publik," ucap Suparji Ahmad.
"Belum ada kebenaran, karena semuanya masih tidak logis."
"Yang rekonstruksi ini juga tidak dianggap sebagai sebuah kebenaran, mengingat tadi bagaimana pelecehan seksualnya tidak ada, dan kemudian merencanakan pembunuhannya juga tidak nampak di situ. Itu yang sangat mendasar," paparnya.
Atas dasar itu, Suparji Ahmad menilai, rekonstruksi yang digelar dengan menampilkan 5 tersangka justru menimbulkan sebuah produksi narasi baru dan menjadi perbincangan di kalangan publik.
Karena, rekonstruksi yang digelar tidak menjawab harapan publik soal dasar perkara pembunuhan berencana ini.