GridHype.ID - Invasi Rusia ke Ukraina menjadi perhatian dunia saat ini.
Banyak media-media Internasional banyak memberitakan kasus invasi Rusia ke Ukraina.
Namun, sayangnya, tak sedikit media Barat yang meliput isu ini dengan sudut pandang seorang rasis.
Dilansir KompasTV, sebagaimana diwartakan Middle East Eye, koresponden Barat tak jarang meliput konflik di Ukraina sembari menyinggung konflik bersenjata di Timur Tengah.
Umumnya, mereka menunjukkan keterkejutan karena konflik meletus di Eropa yang “lebih beradab” dibanding yang lain.
“Mereka terlihat seperti kita. Itulah yang membuat ini sangat mengejutkan,” tulis jurnalis dan mantan politikus Konservatif Inggris Raya, Daniel Hannan, dalam kolomnya untuk The Telegraph.
“Ukraina adalah suatu negara Eropa. Rakyatnya menonton Netflix dan punya akun Instagram, memilih dalam pemilu yang bebas dan membaca surat kabar tanpa sensor.
Perang tidak lagi sesuatu yang menimpa populasi terpencil dan melarat. Itu bisa terjadi pada siapa saja,” tulisnya.
Sementara itu, koresponden senior CBS News, Charlie D’Agata, mengucapkan komentar rasis saat melakukan siaran langsung di Kiev.
“Ini bukanlah tempat, dengan segala hormat, yang seperti Irak atau Afghanistan yang telah melihat konflik berkobar selama berdekade-dekade,” kata D’Agata.
“Ini (Ukraina) relatif beradab, relatif Eropa—saya harus memilih kata-kata ini dengan hati-hati—kota yang mana kamu tidak akan menduga (perang) akan terjadi, atau berharap bahwa itu (perang) akan terjadi.”
Tak hanya itu, mengutip dari TribunWow.com, diketahui terdapat sekira 76 ribu pelajar asing yang berada di Ukraina.
Pasca operasi militer Presiden Rusia Vladimir Putin yang dimulai sejak Kamis (24/2/2022), warga Ukraina termasuk para pelajar dari negara asing tersebut berbondong-bondong pergi mengungsi ke negara tetangga.
Namun di tengah situasi perang dan darurat militer, ternyata masih ada perlakuan diskriminasi dan rasisme yang dilakukan oleh aparat Ukraina.
Informasi ini disampaikan oleh kantor berita Aljazeera lewat akun Twitternya @ajplus, Rabu (2/3/2022).
Perlakuan rasisme oleh aparat Ukraina dirasakan para pelajar dari negara Afrika, India hingga timur tengah.
Pelajar dari Ghana, Ethel Ansaeh Otto mengaku melihat seorang pria kulit hitam dipukuli oleh aparat.
"Saya ingat mereka memukul seorang pria kulit hitam, seorang polisi di Ukraina memukul pria kulit hitam tanpa alasan yang jelas," ujar Ethel.
Ethel kemudian menjelaskan bagaimana warga kulit putih menjadi prioritas pertama dibanding warga ras lainnya.
Selain diskriminasi, para pelajar dari negara lain itu mengaku mengalami penganiayaan hingga permintaan suap.
Di beberapa kasus, aparat penjaga perbatasan hanya membolehkan warga kulit putih Ukraina untuk menyeberangi perbatasan.
Kemudian pelajar dari Pakistan, Maisum Ahmed menyebut ada diskriminasi di mana hanya warga Ukraina yang boleh melewati perbatasan.
Sedangkan warga negara lain ditelantarkan begitu saja.
"Kita semua memiliki dokumen, jika kamu lihat di sana, semua warga asli Ukrania diperbolehkan lewat," jelas Ahmed.
"Kita diperlakukan seperti kotoran, binatang," sambungnya.
Selanjutnya seorang perempuan pelajar dari India menceritakan sulitnya mengungsi keluar dari Ukraina.
"Tidak ada jalan keluar selain bertarung, menendang, mendorong satu sama lain agar bisa menyeberangi perbatasan," terang dia.
Lalu ada pelajar dari Nigeria, Priscillia Vawa Zira yang nasibnya tak jelas karena belum bisa menyeberangi perbatasan.
"Saya merasa tidak nyaman, saya hanya ingin pulang," kata Priscillia.
"Selama tiga hari saya belum makan makanan yang layak," pungkasnya.
(*)