Follow Us

Angka Kematian Akibat Bunuh Diri Meningkat Tajam di Masa Pandemi Corona, Pemerintah Jepang Kalang Kabut hingga Tunjuk Menteri Kesepian untuk Atasi Masalah Pelik Ini

Ruhil Yumna - Sabtu, 20 Februari 2021 | 16:00
Ilustrasi depresi
harvard health - Harvard University

Ilustrasi depresi

GridHype.ID - Kasus bunuh diri di Jepang masih tergolong tinggi dibanding negara-negara lain di dunia

Bahkan pada tahun lalu, publik Jepang dikagetkan dengan kematian mendadak dari aktor Haruma Miura.

Diduga kuat kator tersebut meninggal karena bunuh diri.

Dilaporkan ternyata pada 2019 ada 20 ribu warga Jepang melakukan bunuh diri.

Baca Juga: Jelang Summer Olympic Games, Jepang Lakukan Vaksinasi Covid-19 Pfizer Inc di Akhir Februari 2021

Tren suram ini meningkat seiring dengan kondisi pandemi Covid-19 yang telah berlangsung.

Isu kesehatan mental di Jepang tergolong sangat parah.

Membicarakannya pun terasa tidak etis dan dianggap tabu oleh banyak orang.

Bahkan, meski banyak yang memiliki masalah kesehatan mental, mereka tidak mencari psikiater atau bantuan lain karena dianggap memalukan.

Masalah yang mendasari mereka bisa berasal dari tingginya stress akibat pekerjaan atau masalah di hubungan pribadi warga Jepang.

Namun, masalah utama yang mendasari mengapa bunuh diri di Jepang sangat tinggi adalah harapan pandangan orang lain terhadap masing-masing warga Jepang.

Bahkan di Jepang 11 tahun lalu sebuah buku kontroversial berjudul "How to Commit Suicide" atau "Cara-cara Melakukan Bunuh Diri" pernah rilis.

Baca Juga: Tak Bergeming, Pria ini Tetap Khusyuk Jalankan Shalat di Tengah Guncangan Gempa Jepang Berkekuatan 7,3 Magnitudo

Perilaku Hikikomori

Keanehan warga Jepang yang tidak ditemukan di masyarakat negara lain adalah penyakit hikikomori atau perilaku mengurung diri di rumah dan menghindari kontak sosial.

Pemerintah Jepang telah menegaskan bahwa hikikomori merujuk pada orang-orang yang tidak mau meninggalkan rumahnya atau berinteraksi dengan orang lain setidaknya selama enam bulan.

Namun, hikikomori hadir dalam berbagai bentuk. Kondisi seseorang bisa sangat parah sehingga dia tidak memiliki energi untuk bangkit dari kursi menuju toilet.

Sementara, yang lainnya menderita gangguan obsesif kompulsif sangat serius.

Mereka mandi beberapa kali dalam sehari atau menggosok lantai toilet selama berjam-jam. Ada juga yang mengaku bermain video game sepanjang hari dan itu membuatnya tenang.

Jeff Kingston, profesor studi Asia di Temple University mengatakan, hikikomori biasanya memiliki gejala sosial yang ekstrem.

Mereka tinggal di rumah bersama orangtua yang bisa merawat mereka setiap hari.

Baca Juga: Nekat, Wanita Jepang Ini 10 Tahun Sembunyikan Mayat Ibunya di Kulkas, Ini Motifnya

“Hikikomori jarang meninggalkan kamar dan rumahnya. Mereka terkunci di dalam dan membatasi interaksi dengan dunia maya.

Ini dianggap sebagai penyakit kelas menengah karena hikikomori dari latar belakang seperti itu yang bisa mengandalkan dukungan keluarga mereka,” terang Jeff.

Hikikomori ini tercipta dari rasa malu yang mendalam karena keburukan yang mereka alami atau tidak mempunyai pekerjaan seperti orang normal, merasa tidak berharga dan tidak layak untuk kebahagiaan dan terkhianati oleh ekspektasi orangtuanya.

Tren tidak menikah

Kondisi sangat depresif di masyarakat Jepang menghadirkan masalah baru berupa penurunan jumlah penduduk.

Populasi penduduk Jepang berdasarkan Daftar Penduduk Dasar pada 1 Januari 2019 tercatat 124.763.464 jiwa atau menurun selama 10 tahun berturut-turut.

Jumlah penurunan sekitar 430.000 orang, tertinggi sejak survei Kementerian Dalam Negeri Jepang dimulai.

Ya, di Jepang jumlah penduduknya bukan hanya tidak mengalami lonjakan, tapi juga mengalami penurunan.

Baca Juga: Miliki Aturan Super Aneh, Beberapa di SMP Jepang Wajibkan Pakaian Dalam Putih hingga Sengaja Tarik Tali Bra Siswi untuk Periksa Warnanya

Belakangan, salah satu sumber masalah dari kondisi ini mulai terlihat: jumlah perjaka dan perawan di Jepang meningkat pesat.

Temuan yang didasarkan penelitian terbaru tentang pengalaman seksual pertama warga Jepang dianggap sebagai penjelasan terkait penurunan jumlah populasi masyarakat Jepang.

Hal ini mengakibatkan angka kelahiran bayi menurun yang diperparah dengan populasinya yang menua dengan cepat.

Di Jepang, lebih dari 20% populasinya berusia di atas 65 tahun. Sementara hanya ada 946.060 kelahiran pada tahun 2017.

Catatan tersebut menjadi rekor terendah sejak pencatatan resmi dimulai pada tahun 1899.

Ini bukanlah masalah sampingan. Masyarakat Jepang benar-benar bisa punah jika hal ini terus-terusan terjadi.

Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga telah memberikan solusi untuk permasalahan yang diperburuk selama pandemi Covid-19 ini.

Baca Juga: Buntut Pernyataannya yang Sebut 'Perempuan Terlalu Banyak Omong', Yoshiro Mori Pilih Mundur dari Presiden Olimpiade Tokyo 2020

Penunjukkan Menteri Kesepian

Yoshihide Suga, Sekretaris kabinet Jepang yang digadang-gadang akan gantikan posisi Shinzo Abe.

Yoshihide Suga, Sekretaris kabinet Jepang yang digadang-gadang akan gantikan posisi Shinzo Abe.

Di tengah pandemi virus corona yang masih berlangsung, banyak orang menderita secara fisik maupun mental, tak terkecuali Jepang.

Untuk mengatasi masalah ini, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga telah menunjuk seorang politikus Tetsushi Sakamoto menjadi Menteri Kesepian.

Sakamoto akan mengurusi kementerian yang mengatasi kesepian dan isolasi yang menjadi semakin umum di Jepang selama pandemi ini.

Penunjukan kabarnya diberlakukan setelah muncul laporan yang menunjukkan bahwa jumlah kasus bunuh diri di Jepang meningkat selama setahun terakhir.

Dia antara kasus bunuh diri tersebut, jumlah mayoritasnya adalah wanita dan kaum muda sebagaimana dilansir dari World of Buzz, Jumat (19/2/2021).

Peneliti berpendapat, banyaknya wanita yang bunuh diri selama pandemi dikarenakan wanita cenderung lebih banyak bekerja di sektor ritel dan jasa. Sehingga, saat pandemi seperti ini, mereka kehilangan pekerjaan dan menjadi depresi.

Lonjakan tersebut terjadi pada paruh kedua 2020 dengan Oktober mengumpulkan jumlah kematian terbanyak yakni 2.153 kematian dalam satu bulan dalam rentang waktu lima tahun.

Baca Juga: Sempat Dijajah Jepang, Tak Banyak yang Tahu Jika 4 Kata Bahasa Indonesia ini Berasal dari Bahasa Jepang

Jika dibandingkan dengan Oktober 2019, jumlah wanita di Jepang yang bunuh diri melonjak 82,6 persen, lapor CGTN.

Pemerintah Jepang sekarang mengambil langkah aktif untuk membantu mengekang lonjakan kasus bunuh diri.

Jepang melakukannya dengan memperluas layanan konsultasi dan memperkenalkan organisasi pendukung kepada mereka yang membutuhkan.

Dilansir dari Japan Times, Suga meminta Sakamoto mengawasi upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kesepian dan isolasi.

“Wanita lebih menderita (daripada pria), dan jumlah kasus bunuh diri sedang meningkat.

Saya harap Anda akan mengidentifikasi masalah dan mempromosikan langkah-langkah kebijakan secara komprehensif,” kata Suga kepada Sakamoto dalam sebuah pertemuan.

Baca Juga: Kemenkes Sebut Langkah Terakhir, Penolak Vaksin Covid-19 Bakal Diberi Sanksi

Dalam konferensi pers di kemudian hari, Sakamoto berharap dapat melakukan kegiatan untuk mencegah kesepian dan isolasi sosial serta untuk menjaga hubungan antar-manusia.

Dia mengungkapkan rencananya untuk mengadakan forum darurat pada akhir Februari.

Forum tersebut akan mendengarkan pendapat dari mereka yang membantu orang-orang yang menghadapi kesepian dan isolasi, serta membahas langkah-langkah yang diperlukan.

Suga berencana menghadiri forum tersebut.

(*)

Source : intisari, Kompas

Editor : Ruhil Yumna

Baca Lainnya

Latest