Selain hak sosial, hak politik dan hak ekonomi juga diberangus. Saat pilkada tahun 2015, korban lumpur tak ikut mencoblos karena desanya sudah hilang. Pelaku usaha mikro juga tidak bisa mendapatkan pinjaman modal usaha karena identitas dan tempat tinggal berbeda. Apalagi banyak yang masih kontrak.
Wisata
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah mengatakan, keberadaan korban lumpur tercerai-berai setelah kehilangan tempat tinggal. Dengan alasan sulit melacak keberadaan mereka, pemkab pun enggan mengurus. Mereka dianggap sebagai obyek jual beli tanah yang menerima ganti untung.
"Ke depan, semburan lumpur akan saya jadikan obyek wisata. Sekarang saja pengunjungnya sudah banyak. Saya yakin lumpur itu akan jadi berkah bagi Sidoarjo. Hanya sekarang belum tahu caranya," kata bupati dari Partai Kebangkitan Bangsa yang menjabat dua periode itu.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat, juga bersikap sama. Mereka sekarang giat mengusir warga di 13 desa di luar peta terdampak, dengan alasan tanah sudah dibeli pemerintah. Nilai beli 10 tahun lalu dan sekarang sama.
"Bukannya tak mau pindah, tapi kehidupan kami di sini. Toko ini napas ekonomi keluarga. Sementara uang penggantinya tak cukup buat membeli tanah dan membangun rumah. Per meter persegi tanah dan bangunan dihargai Rp 1,5 juta, sedangkan harga pasar Rp 3 juta-Rp 4 juta per meter persegi," ujar Samsul, warga Porong.
Amien Widodo, anggota Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim pada Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang juga mantan Ketua Tim Kajian Teknis dan Sosial Lumpur Lapindo, mengatakan, harus dilakukan evaluasi dari segala sisi terkait dengan 10 tahun semburan lumpur Lapindo. Dari segi teknis, misalnya, penanganan semburan dilakukan dengan mengalirkan luberan lumpur di darat ke Sungai Porong dan Selat Madura.
"Dampaknya pasti banyak dan kerusakan ekosistem jelas terjadi. Di darat, tidak ada satu rumput pun yang tumbuh di atas lumpur yang memadat selama 10 tahun," ucap Amien.
Dari segi geologis, terdapat penurunan permukaan tanah di sekitar pusat semburan. Itu tampak jika membandingkan tinggi permukaan tanggul titik 21 Desa Siring dengan tinggi kubah masjid di seberang jalan. Dulu tanggul berada di atas kubah, sekarang tanggul sejajar dengan genteng masjid.
Dari segi sosial, negara harus memulihkan hak-hak sosial masyarakat. Menempatkan warga korban dan masyarakat sekitar sebagai subyek bencana, dan bukan obyek. Negara harus memberdayakan mereka supaya kelak mampu mengenali ancaman di sekitarnya dan tangguh menghadapi bencana.