Sesaat kembali ke atas tribun, Dadang melihat beberapa suporter satu per satu memanjat hingga melompati pagar pinggir stadion untuk berlari ke tengah lapangan.
Sejauh mata memandang, ia melihat bahwa para suporter yang berlarian menuju ke arah pintu masuk ruang ganti pemain bukan untuk melakukan penyerangan.
Melainkan untuk memberikan pelukan hangat sebagai bentuk dukungan saat kemenangan belum berpihak pada mereka.
Bahkan, lanjut Dadang, aksi beberapa suporter lainnya, malah hanya sekadar numpang untuk meminta swafoto bersama para pemain Arema FC idolanya.
Namun ternyata, aksi dari sejumlah suporter tersebut malah direspon lain, bahkan terlalu keras oleh para aparat berwajib yang berjaga.
Kerumunan ratusan aparat yang semula berada di sudut-sudut gelap pinggiran stadion, bergerak gegap-gempita mengejar setiap suporter yang telah menjadi sasaran mereka.
Tak pelak, tendangan, hingga pukulan mendarat ke arah tubuh para suporter yang posturnya lebih kecil dari mereka.
"Ketika turun, mereka sudah berulah, membawa pentungan, dan membawa tameng dan membubarkan kami," katanya.
Namun, terlepas dari pemandangan kekerasan yang dilihatnya dari atas tribun. Dadang mengaku, kengerian sesungguhnya adalah ketika bola pelontar gas air mata tiba-tiba jatuh di tengah kerumunan ratusan suporter di tribun 13.
Baginya, momen itu merupakan petaka laiknya film horor yang benar-benar dilihat dan dirasakannya secara nyata.
Rasa pedih sesak yang ditimbulkan gas tersebut, langsung meracuni setiap orang di area tersebut.