Di sisi lain, Dicky mengingatkan bahwa tes PCR tidak boleh sembarang dilakukan.
Salah satu alasannya adalah keterbatasan kapasitas untuk tes tersebut di Indonesia.
"Jadi lebih baik PCR itu diprioritaskan pada kasus-kasus yang memang untuk mendiagnosa Covid-19. Sehingga, untuk menentukan pulih atau tidak, lebih pada diagnosa fisik ataupun tampilan klinis, dan pemeriksaan lain yang menunjang," kata Dicky.
"Tidak ujug-ujug langsung ke PCR. Untuk kasus-kasus seperti itu, apalagi tidak muncul gejala klinis ya buat apa PCR? Lebih baik suruh istirahat saja, dan jangan kemana-mana sampai diobservasi," ujarnya melanjutkan.
Pasien sembuh menurut WHO Sebelumnya, seperti diberitakan Kompas.com, 26 Juni 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menerbitkan pedoman sementara yang diperbarui tentang manajemen klinis Covid-19 dan rekomendasi untuk mengeluarkan pasien dari isolasi.
Menurut WHO, pasien Covid-19 yang memenuhi sejumlah ketentuan, bisa dikeluarkan dari isolasi rumah sakit tanpa memerlukan pengujian ulang.
Hal itu berbeda dari rekomendasi awal WHO yang mengharuskan pasien untuk pulih secara klinis dan memiliki dua hasil tes swab negatif dari sampel berurutan yang diambil setidaknya 24 jam terpisah.
Dicky menyebut, rekomendasi WHO yang telah diperbarui itu dikeluarkan atas dasar terbatasnya kapasitas tes PCR.
"Harganya tinggi, sedangkan yang urgent saja lama dan susah. Jadi betul-betul harus selektif. Jangan dibebani pada hal-hal yang tidak esensial," kata Dicky.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Partikel Virus Bisa Bertahan hingga Dua Bulan di Dalam Tubuh, Ini Saran Epidemiolog"