Hal ini merupakan salah satu kekurangan yang dimiliki aset kripto apabila ditinjau menurut syariat Islam.
"Majelis Tarjih dan Tajdid telah mengeluarkan fatwa keharaman kripto (hukum uang kripto) baik sebagai kegiatan investasi maupun alat tukar.
Alasannya karena ada kecenderungan mengandung unsur ketidakpastian (gharar), perjudian (maisir)," tulis laman resmi Muhammadiyah.or.id.
Hal senada juga disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sebelum Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram, MUI telah terlebih dahulu mengharamkan penggunaan cryptocurrency sebagai alat pembayaran.
Alhasil, MUI menetapkan bahwa mata uang kripto secara resmi dilarang digunakan sebagai alat tukar ataupun alat investasi, tetapi masih boleh dimiliki.
Muhammadiyah dan MUI tampaknya sepakat bahwa aset kripto mengandung gharar dan dharar.
Namun, MUI secara khusus menilai adanya unsur qimar alias judi pada aset kripto.
Selain itu, cryptocurrency juga tidak memenuhi syarat jual beli secara syariah, terutama wujud fisik dan nilai yang pasti.
"Cryptocurrency sebagai komoditi/aset digital tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli," jelas MUI.
Adapun gharar sendiri memiliki arti ketidakpastian dalam transaksi karena tidak terpenuhinya ketentuan syariah dalam transaksi tersebut. Alhasil, terdapat risiko terjadinya kerugian.