Ia bersyukur tak banyak penyakit yang hinggap di tubuh kurusnya meski kerap bekerja ekstra keras. Sambil berseloroh, Artidjo bilang penyakit pun tahu diri tak mau hinggap di tubuhnya.
Selama 18 tahun itu pula, Artidjo mengaku tak pernah mengambil cuti sebagai hakim agung.
Ia juga selalu menolak bila diajak ke luar negeri karena akan ada implikasi besar terhadap tugasnya.
"Saya tidak pernah mau (diajak ke luar negeri), konsekuensinya nanti karena tiap hari itu ada penetapan tahanan itu seluruh Indonesia, itu tidak bisa ditinggal karena nanti bisa itu keluar demi hukum. Nanti yang disalahkan saya," kata dia sembari tertawa.
Kini pengabdiannya di MA sudah tuntas. Tak ada keinginan yang muluk-muluk.
Sosok yang dikenal sederhana itu hanya ingin kembali ke kampungnya di Situbondo dan menikmati masa pensiunnya.
"Jadi kalau pertanyaan rekan-rekan di MA 'Pak Artidjo setelah pensiun dari MA mau ke mana?', saya bilang kembali ke habitat, yakni memelihara kambing sajalah," kata dia.
Kebetulan, tutur Artidjo, ia memiliki usaha rumah makan Madura di kampungnya.
Kegiatan itulah yang akan menjadi keseharian Artidjo setelah tak lagi menjadi hakim agung. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Artidjo Alkostar, 18 Tahun, 19.000 Perkara, dan Urus Kambing..."