Di musim panas, keluarganya, termasuk ibu Murad, delapan saudara laki-laki, dan dua saudara perempuannya, akan berbaring di atas kasur di atap rumah, berbisik satu sama lain, sampai mereka tertidur di bawah bulan.
Tapi semua berubah tiga tahun yang lalu, persisnya 14 Agustus 2014.
Setelah melakukan pengepungan selama dua minggu, ISIS memerintahkan seluruh penduduk Kocho pergi ke halaman sekolah. Di sana, militan ISIS bertanya kepada orang-orang Yazidi itu, apakah mereka mau masuk Islam atau tidak.
Yazidisme merupakan salah satu agama tertua di Mesopotamia, yang berusia sekitar 6.000 tahun. Agama ini punya unsur-unsur yang sama dengan agama-agama Timur Tengah lainnya, termasuk Islam, Zoroaster, dan Yahudi.
Para pengikutnya tidak percaya pada neraka atau setan. Mereka berdoa kepada malaikat yang jatuh, yang mereka sebut dengan “Tawusi Melek”, yang turun ke bumi dan menantang Tuhan, hanya untuk dimaafkan dan kembali ke surga.
Cara berkeyakinan seperti ini memberi orang Yazidi sebuah reputasi di kalangan muslim radikal sebagai pemuja setan.
Akibatnya, para pengikut agama yang tidak memiliki kitab suci resmi ini, sering menjadi sasaran genosida.
Seperti tertulis dalam buku Murad, sebelum ISIS, kekuatan luar, termasuk Ottoman dan sekte lainnya, pernah mencoba menghancurkan mereka sebanyak 73 kali.
Dalam sebuah perjalanan ke luar kota bersama rombongan ISIS, Murad, yang waktu itu berusia 21 tahun, menjerit untuk menghentikan salah seorang militan yang menarik payudaranya setiap si militan itu melewatinya.
“Kenapa kamu berteriak?” tanya seorang militan kepada Murad.