GridHype.ID -Siapa sih yang tak pernah memakai kebaya?
Tentu masyarakat Indonesia pernah memakai atau bahkan memiliki kebaya di rumahnya ya.
Membahas soal kebaya, ada kabar baik nih bagi kita semua.
Melansir dari Tribunnews.com, Komunitas TradisiKebaya.id menggelar acara Kebaya Goes to Unesco dengan mengikuti rafting mengenakan kebaya pada 27-28 Oktober 2022.
Kegiatan ini untuk membuktikan kebaya dapat digunakan dalam berbagai kegiatan.
Rafting Kebaya Goes to Unesco diikuti oleh SMPN 4 Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali.
Harapannya, Unesco melalui pemerintah RI dapat mempermudah jalan bagi Kebaya menjadi warisan tak benda seperti Reog dan Batik, dikutip dari TribunBali.
Jika dilihat dari sejarah Kebaya, pakaian ini sudah ada di Indonesia sebelum masa penjajahan.
Sehingga, komunitas TradisiKebaya.id terus mendorong berbagai kegiatan Kebaya Goes to Unesco.
Sejarah kebaya telah mengalami banyak perkembangan, terutama karena pengaruh budaya dari bangsa lain yang masuk Indonesia.
Kebaya berkembang setelah mendapat pengaruh dari budaya pakaian orang Jawa dengan bangsa India, Arab, China, dan Portugis.
Baca Juga: Unik! Acara Kebaya Goes to UNESCO di Badung Hadirkan Para Perempuan Berkebaya Rafting
Kebaya sebelum Masa Penjajahan
Sebelum masa penjajahan, gaya berpakaian Kebaya dapat dilihat pada relief di Candi Prambanan maupun relief lain dan prasasti.
Sekitar abad ke-8 hingga ke-9, orang Indonesia sudah mengenal ‘kulambi’ yang berevolusi saat menjadi ‘klambi’ dalam bahasa Jawa berarti baju.
Kemudian, sekitar abad ke-15 atau 16, muncul ‘pantolan’ untuk pakaian laki-laki dan ‘kebaya’ untuk pakaian perempuan.
Tampilan kebaya pada masa ini sudah lebih baik dalam menutupi bagian tubuh, seiring dengan pengaruh budaya Islam, dikutip dari BoboGrid.id.
Bahkan, asal kata kebaya berasal dari bahasa Arab "Abaya", yang artinya pakaian.
Dipercaya, kebaya dulunya berasal dari daerah Tiongkok yang sudah berusia ratusan tahun yang lalu.
Kemudian penggunaan busana kebaya mulai menyebar dari Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi.
Sebelum tahun 1600, kebaya merupakan busana yang dipakai wanita Jawa, khususnya di daerah Yogyakarta, Surakarta, Jawa Tengah.
Kebaya yang digunakan R.A Kartini juga merupakan kebaya asal Jawa Tengah.
Pengaruh Perempuan Eropa di Pulau Jawa
Baca Juga: Penampilan Fuji Disorot, Thariq Halilintar Akhirnya Kenalkan Pacar Sebagai Calon Istri ke Keluarga
Kedatangan perempuan Eropa di Pulau Jawa, telah mengubah gaya busana kebaya.
Kebaya pun akhirnya menjadi busana perempuan kulit putih, sebagai pakaian sehari-hari.
Kebaya Jawa akhirnya berevolusi, setelah dikenakan perempuan Eropa.
Pada tahun 1800-1949, kebaya menjadi busana semua kelas sosial.
Kebaya berevolusi mengikuti penggunaan kain yang semakin bervariasi.
Model jahit kebaya juga mengalami perubahan dan menciptakan model Kebaya pendek, dikutip dari TribunnewsWiki.
Akulturasi Busana Eropa dalam Kebaya Jawa
Sebelum kedatangan masyarakat Eropa ke Indonesia (Hindia Belanda), peradaban di Indonesia sudah sangat tinggi.
Sehingga, terjadi percampuran kebudayaan Eropa dan Jawa yang dikenal sebagai Kebudayaan Indis.
Masyarakat Eropa di Indonesia tinggal jauh dari keramaian kota, dan menikmati kehidupan mewah mereka.
Mereka tinggal di Loji atau rumah besar, dan menikmati gaya hidup Eropa namun berpakaian layaknya orang Jawa.
Pakaian perempuan Eropa yang tinggal di Loji juga memiliki karakteristik yang sama dengan perempuan Jawa.
Namun perempuan Eropa memberikan aksen Barat, berupa penggunaan kain yang lebih berkualitas.
Pemilihan kain brokat dan bahan kain renda membuat busana Kebaya Jawa menjadi busana bergaya Eropa.
Busana Kebaya untuk Semua Kalangan
Awal abad ke-20, muncul Politik Etis atau Cultuur Stelsel di Indonesia.
Munculnya Cultuur Stelsel juga dirasakan langsung oleh perempuan Tionghoa, khususnya untuk mengikuti tren Kebaya milik perempuan Eropa.
Busana Kebaya khas Tionghoa terbuat dari kain berwarna merah menyala, dengan hiasan sulam berbentuk bunga atau binatang sebagai perlambangan busana tradisional China.
Awal abad ke-20, busana Kebaya tampil sebagai perwakilan tiga etnis perempuan yaitu Jawa, Eropa, dan Tionghoa.
Kala itu, perempuan Eropa mulai mengalami krisis identitas sebagai perempuan Eropa namun ingin menyesuaikan diri dengan Kebaya.
Perempuan Eropa di perkotaan seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang enggan mengenakan Kebaya karena takut kehilangan jati diri sebagai orang Eropa.
Namun, ada juga perempuan Eropa yang masih mau mengenakan kebaya dan sarung sebagai bentuk dari kebudayaan setempat.
Di pedalaman Jawa, masih banyak perempuan Eropa yang mengenakan kebaya.
Hal ini mengakibatkan pemerintah Belanda membuat kebijakan agar perempuan Eropa mau mendalami dan membekali diri dengan adat setempat.
Kebijakan tersebut mendorong Njonja atau perempuan Eropa, memiliki peran ganda sebagai orangtua dari anaknya dan orangtua dari pelayan Jawanya.
Njonja juga dituntut untuk dapat belajar Bahasa Melayu, dan mengenakan pakaian adat setempat.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul "Sejarah Kebaya, Pakaian Tradisional Jawa dalam Gerakan Kebaya Goes to Unesco"
(*)