Vaksin yang dikembangkan oleh Janssen Pharmaceutical Companies ini diketahui menggunakan platform non-replicating viral vector atau menggunakan vektor adenovirus.
Dokter patologi klinis Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tonang Dwi Ardyanto, memberikan penjelasan tentang alasan vaksin Janssen hanya perlu satu kali suntikan.
Penjelasan itu ia unggah di laman Facebook pribadinya pada Jumat (10/9/2021).
Kompas.com telah mendapatkan izin dari Tonang pada Minggu (12/9/2021) untuk mengutip unggahan tersebut.
Tonang menjelaskan, vaksin Janssen menggunakan metode viral vector.
Metode itu sama dengan yang digunakan pada vaksin Cansino, AstraZeneca, dan Sputnik V.
Seperti diketahui, vaksin AstraZeneca dan Sputnik V diberikan lewat dua kali penyuntikan. Namun, vaksin Janssen dan Cansino hanya butuh satu kali penyuntikan saja.
Ia mengatakan, lebih spesifik lagi, keempat vaksin tersebut termasuk dalam viral vector dengan tipe non replicating. Maka seharusnya tidak cukup bila hanya satu kali pemberian.
"Virus vectornya sendiri, sudah dihilangkan kemampuan replikasinya, sehingga sekali dimasukkan, segera ditangkap sel imun bawaan tanpa ada aktivitas lagi," jelas Tonang.
"Virus vector tersebut tidak bisa berkembang biak dalam tubuh manusia penerima vaksin. Maka pemberiannya minimal 2 kali, bisa lebih," ujar dia.
Tonang menjelaskan, alasan vaksin Johnson & Johnson dan Cansino hanya butuh satu kali suntikan adalah karena kedua vaksin tersebut memiliki adenovirus yang berbeda dengan dua vaksin lainnya.