Sekarang para ahli mengatakan, China mengadopsi taktik yang semakin kuat dan berisiko memicu konflik baru dengan kekuatan regional utama seperti Malaysia dan Indonesia.
Direktur AMTI, Greg Polling mengatakan, negara-negara itu lebh penting daripada sebelumnya karena kapal-kapal China memperluas jangkauan mereka di kawasan itu, sebagian besar karena keberadaan pulau-pulau buatan Beijing di Laut China Selatan.
"Pulau-pulau buatan itu menyediakan pangkalan depan untuk kapal-kapal China, secara efektif telah mengubah Malaysia dan Indonesia menjadi negara-negara yang berada di garis depannya," ujar Polling.
"Pada hari tertentu, di sana sekitar selusin kapal penjaga pantai berdengung di sekitar Kepulauan Spratly, dan sekitar seratus kapal nelayan, siap berangkat," terangnya.
Laut China Selatan adalah daerah yang paling diperebutkan di dunia, dengan tumpang tindih klaim dari China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, Taiwan dan Indonesia.
Klaim teritorial Beijing, yang dikenal dengan sembilan garis putus-putus, karena tanda yang tercetak pada peta China di wilayah tersebut, sejauh ini merupakan yang terbesar dan mencakup hampir keseluruhan Laut China Selatan, dari Pulau Hainan hingga ke puncaknya di Indonesia.
Kendati klaim China tidak memiliki dasar di bawah hukum internasional dan dinyatakan tidak sah dalam putusan pengadilan internasional 2016.
Meski demikian, sejak 2015, China mulai meningkatkan ambisi teritorialnya dengan membangun pulau-pulau buatan di atas terumbu dan beting di Laut China Selatan dan kemudian memiliterisasi daerah itu dengan fasilitas pelabuhan, dan landasan pesawat tempur.
"Pulau-pulau ini penuh dengan radar dan kemampuan pengawasan, mereka melihat semua yang terjadi di Laut China Selatan," kata Polling.
"Di masa lalu, China tidak tahu di mana kamu mengebor. Sekarang mereka pasti tahu," imbuhnya.