Kehidupannya juga tidak mudah. Takao terus-menerus terlibat dalam perselisihan hukum untuk menghentikan pihak berwenang secara paksa mengusirnya dari tanahnya.
Baca Juga: Tak Ingin Kecolongan, Jepang Sulap Kapal Perang Jadi Kapal Induk Guna Melawan Tiongkok!
Tentu saja itu melelahkan, begitu juga dengan bertani itu sendiri. Tapi dia tidak berniat untuk mundur sejengkal pun.
Perjuangannya telah menjadi simbol hak-hak sipil.
Ratusan sukarelawan dan aktivis bersatu mendukungnya selama bertahun-tahun.
Takao menyatakan dia pernah diiming-imingi uang tunai yang sangat besar dengan catatan dia harus meninggalkan tanahnya tersebut.
“Mereka menawari saya 180 juta yen (1,7 dollar AS atau Rp 25 miliar). Itu setara dengan gaji seorang petani selama 150 tahun. Saya tidak tertarik dengan uang, saya ingin terus bertani. Saya tidak pernah berpikir untuk pergi," kata dia kepada BBC.
Bandara Narita melayani sekitar 40 juta penumpang dan 250.000 penerbangan dalam setahun.
Dua landasan pacu bandara itu kedua seharusnya melewati tanah Takao Shito. Tetapi karena Takao berkukuh tidak menjual tanahnya, landasan pacu bandara itu harus didesain sedemikian rupa.
Menurut sebuah artikel oleh Answer Coalition, Pengadilan Lokal Chiba mengumumkan keputusan yang tidak adil yang memungkinkan eksekusi wajib atas tanah Takao pada 20 Desember 2018.
Baca Juga: Lima Makanan Ekstreme di Jepang, Mulai dari Bir Ular Hingga Daging Kuda Mentah, Berani Coba?