Saya dan istri saya pergi bersama untuk meminta maaf.
"Kami minta maaf karena kami hamil," kata kami.
Direktur dengan enggan menerima permintaan maaf kami.
Tapi ia sejak saat itu, telah meneriaki istri saya dengan kata-kata kasar, seperti, "Bagaimana kamu bisa dengan egois melanggar peraturan?".
"Istri saya merasa bersalah memikirkan kondisi kerja keras rekan-rekannya."
Sementara itu direktur menganggap kami bersalah karena tidak merencanakan kehamilan dengan baik."
Dalam surat tersebut pria itu menuliskan, "Siapa yang mendapat keuntungan dari giliran yang mereka tentukan untuk memiliki anak?".
Surat itu mendorong banyak pasangan lain mencurahkan permasalahan yang sama.
Pekerja-pekerja lain di Jepang mengaku bahwa mereka dipaksa untuk hidup dengan aturan yang serupa.
Yakni menunggu jadwal untuk menikah dan hamil.