Jika ada yang bertanya, ia akan berpura-pura menjadi suaminya. Dan rencana itu berhasil dengan sangat baik.
Dengan menggunakan kartu identitas palsu serta sebuah alasan baru saja mengunjungi keluarga di Irak yang dikuasai Kurdi, Murad dan Nasser berhasil melewati banyak pos pemeriksaan ISIS sampai ia bertemu kembali dengan dua saudara laki-lakinya di sebuah kamp pengungsian.
Tapi perjuangan Murad belum berhenti sampai di situ.
Saat dilakukan filter terhadap para pengungsi baru, Murad akhirnya tahu apa yang telah terjadi dengan orang-orang terkasihnya.
Ibunya telah ditembak dan dikubur di sebuah kuburan dangkal bersama dengan 85 perempuan Yazidi lainnya.
Lima saudara laki-lakinya dieksekusi. Keponakannya diculik ISIS dan akan dicucui otaknya. Dan dua saudara perempuannya, masih di dalam tahanan.
Untungnya, salah satu saudara laki-lakinya berhasil ditemukan di rumah sakit terdekat. Murad menolak bercerita kepada saudara laki-lakinya yang masih hidup tentang apa saja yang telah ia alami.
Ia tahu, cerita tersebut justru akan menyakiti keluarganya.
Meski begitu, Murad menceritakan beberapa penggal kisahnya kepada beberapa reporter berita. Ketika Murad Ismael, direktur eksekutif Yazda, sebuah kelompok advokasi Yazidi, sedang mencari orang yang mau bercerita kepadanya untuk dibawa ke Dewa Keamanan PBB, Murad bersedia bercerita.
Lebih dari setahun kemudian, Murad diterbangkan melintasi Samudra Atlantik untuk pertama kalinya. Tujuannya adalah New York, di mana ia harus berpidato di depan PBB.
Dengan tenang, ia bilang: “Kalian adalah yang menentukan apakah gadis-gadis lain, di belahan dunia lain, akan menjalani kehidupan yang sederhana atau dipaksa hidup dalam penderitaan dan perbudakan—seperti aku.”
Pidato itu kemudian menjadi titik balik.