GridHype.ID - Para orang tua wajib mulai waspada, terlebih pada berbagai aksi kejahatan yang marak terjadi.
Pasalnya, hanya berawal dari hal yang dianggap sepele, sebuah fakta mengerikan justru terungkap.
Menurut 24h.com.vn, pada Kamis (4/3/21), kisah ini terjadi di Tiongkok, baru-baru ini, namun identitas dari si pencerita dirahasiakan.
Baca Juga: Keji! Di Kota Ini Wanita Diperkosa Hingga Hamil Demi Bisnis Pabrik Bayi
Menurut komunitas online Tiongkok, ramai membicarakan soal gambar aneh di tangan seorang gadis sepulang sekolah.
Menurut keterangan sang ibu, menceritakan bagaimana pengalaman mengerikan itu menimpa putrinya.
Secara khusus putrinya suka menari sejak usia kecil, dan juga suka bersenang-senang dengan teman-temannya.
Putrinya kemudian bertemu dengan seseorang tak dikenal yang mengaku sebagai gurunya, di sebuah pusat dansa.
Menurut pengakuan putrinya gurunya itu meminta anak-anak itu untuk mempraktikkan beberapa tarian.
Kemudian, dia berjanji akan memberikan kelas gratis pada anak-anak ini, jika menemukan ada yang berbakat salah satunya.
Anak-anak itupun sangat senang, kemudian mengikuti apa yang diperintahkan oleh guru tersebut.
Hingga akhirnya, sang ibu datang untuk menjemput putrinya tersebut.
Namun, begitu dia membawa putrinya untuk kembali menemukan sesuatu yang mengejutkan di tangan putrinya itu.
Dia melihat ada gambar bunga aneh di tangan putrinya, dan langsung menanyakan semua kejadian yang dialami putrinya.
Dengan panik sang ibu langsung menelpon polisi, dan siapa sangka tanda bunga itu ternyata memiliki arti yang sangat mengerikan.
Menurut keterangan lambang bunga itu menjadi penanda para pedagang anak-anak di China untuk memilih anak-anak sebagai sasarannya.
Untungnya sang ibu dengan cepat menemukan tanda itu dan segera melaporkannya ke polisi.
Menurut laporan, para trafficker semakin canggih dalam melancarkan aksinya.
Orang tua perlu membekali anak-anaknya pengetahuan dasar untuk menyelamatkan dirinya sejak usia dini.
Selain itu, menurut borgenproject.org, China merupakan salah satu negara dengan penyelundupan manusia terbesar di dunia.
Pada tahun 2011, lebih dari 40,3 juta orang China tinggal di luar negeri di 148 negara.
Sindikat penyelundupan manusia seperti snakehead memanfaatkan koneksi kriminalnya, untuk mengangkut orang China ke negara lain.
Biaya penyelundupan transasional bervariasi mulai 1.000 dollar AS hingga 70.000 dollar AS, per orang.
Lalu, pada 2016 polisi menemukan kasus kerja paksa anak di sebuah pabrik garmen di Jiangsu, di mana manajer memaksa pekerja di bawah umur untuk kerja lembur. Bahkan memukuli mereka jika menolak.
Praktik perdagangan anak buruh migran di Indramayu
Praktik perdagangan anak buruh migran di Indramayu, Jawa Barat, masih tinggi. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat di wilayah ini 30 anak telah menjadi korban.
Bahkan, disebutkan lembaga tersebut, praktik kejahatan ini memiliki jaringan kuat. Jaringan tersebut menyentuh kerabat dekat juga keluarga.
Mereka menjadi bagian itu karena tertarik royalti (fee) besar dari agen atau PT. "Ketika mereka berhasil membujuk seseorang bekerja di luar negeri, pihak agen atau PT memberinya royalti cukup besar.
Mereka tidak sadar bagian dari kejahatan itu," ujar Juwarih, Ketua SBMI Indramayu, kepada Kompas.com, Senin (15/2/2021).
Usia di KTP dituakan
Juwarih menuturkan, praktik perdagangan anak buruh migran ini ditutupi melalui pemalsuan dokumen.
Umur anak akan dituakan beberapa tahun sesuai kebutuhan pekerjaan di luar negeri. "Banyak variasi penuaan tahunnya. Intinya dokumen tersebut dipalsukan agar tidak diketahui.
Praktik ini sering dilakukan hampir di setiap TKI atau TKW ilegal yang diberangkatkan oleh agen atau pun PT," kata Juwarih.
Bahkan dia menyebut, praktik perdagangan orang atau anak buruh migran diketahui lagi melalui kontrak kerja.
Bagi buruh migran resmi akan ada penandatanganan kontrak kerja jelas berisi hak-hak seperti gaji atau tunjangan, dan yang lainnya.
Faktor ekonomi
"Semacam BPJS. Atau misalnya meninggal dunia, keluarga sebagai hak warisnya diberi santunan ratusan juta.
TKI atau TKW ilegal atau unprosedural tidak ada semacam itu. Itu yang membedakan," ungkap Juwarih.
Dia juga menjelaskan, di Indramayu sendiri banyak anak menjadi korban perdagangan modus buruh migran karena faktor ekonomi. Anak disuruh bekerja untuk mengabdi kepada orang tua.
Proses pemalsuan dokumen
Juwarih menerangkan, pemalsuan dokumen bagi buruh migran anak terjadi pada KTP (Kartu Tanda Penduduk).
Anak akan dibikinkan KTP dan usianya ditambah sehingga cukup umur.
Sebab dengan KTP, kata Juwarih, anak akan bisa memohonkan Paspor serta bisa diberangkatkan ke luar negeri untuk bekerja.
"Kalau unprosedural (ilegal) yang membikinkan semua dokumennya adalah agen.
Jadi calon TKI atau TKW ini tidak tahu menahu mereka hanya tinggal menunggu instruksi saja," kata Juwarih.
Keterlibatan oknum di instansi pemerintah
Dia juga menerangkan, proses pemalsuan dokumen ini pihak agen atau PT akan berkoordinasi dengan oknum di instansi pemerintah untuk segera bisa membuat dokumen seperti KTP.
"Biasanya agen atau PT ke kantor desa dulu, lalu ke Disdukcapil setempat," terang Juwarih.
Dia mengatakan, jika terbongkar praktik ini, kejahatannya bisa dikenakan pasal berlapis seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan pemalsuan dokumen negara.
"Dikenakan Pasal 21 tahun 2007 tentang TPPO. Ancamannya kurang lebih 15 tahun penjara, dan bisa juga kena pasal pemalsuan dokumen negara," ungkap Juwarih.
Kisah buruh migran CW, tersiksa dan tidak ada perlindungan hukum CW (28), perempuan asal salah satu desa di Kecamatan Kedokan Bunder, Kabupaten Indramayu, mengaku dirinya pernah menjadi korban perdagangan anak buruh migran.
CW yang ketika itu berusia 17 tahun oleh keluarga dipaksa bekerja di luar negeri. Waktu itu ia bekerja di Singapura, dan mengurusi laki-laki dan perempuan yang lanjut usia.
"Saya di sana (Singapura) dua kali. Ngurus kakek-kakek dan nenek.
Saya merasa tersiksa sebab kerjanya berat. Selain mengurus mereka saya juga nyuciin piring dan yang lain," ujar CW, ditemui di kediamannya Minggu (14/2/2021) kemarin.
CW menjelaskan, waktu itu beratnya pekerjaan tidak sebanding dengan tenaganya yang masih di bawah umur.
Akhirnya di Singapura ia tidak bertahan lama dan hanya membawa gaji beberapa bulan ia bekerja.
"Sebab saat itu saya berangkatnya ilegal. Jadi saya pulang itu hanya untuk pengalaman saja, tidak kuat," tuturnya.
Baca Juga: Usai Penyelidikan WHO di Wuhan Berakhir, Perdebatan AS dan China atas COVID-19 Justru Berlanjut
CW sendiri, mengaku sewaktu kerja di Singapura kerap menerima tindak kekerasan dari sang majikan.
Kekerasan tersebut ia tidak mendapatkan perlindungan hukum.
"Boro-boro (perlindungan hukum).
Pengennya saya sih tiap orang yang bekerja di luar negeri itu dilindungi. Baik keamanannya atau yang lainnya," kata dia.
CW sendiri berharap, dari kasusnya tersebut pemerintah pusat dapat memperhatikan kegelisahan dialami buruh migran, saat ini banyak buruh migran tidak betah karena banyak kekerasan, ketidaknyamanan dan yang lainnya.
(*)