Awalnya, penggunaan angklung ini berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat untuk mendatangkan kemakmuran.
Pasalnya, penduduk desa setempat mempercayai bahwa suara bambu dapat menarik perhatian Dewi Sri, yaitu dewi padi dan kemakmuran.
Setiap tahunnya para pengrajin terbaik di desa akan menggunakan bambu hitam khusus untuk membuat angklung.
Angklung tersebut nantinya akan digunakan saat upacara musim panen dengan harapan agar dewa memberkati mereka dengan hasil panen yang subur.
Secara angklung berawal sejak abad ke-11 dan dikenal dengan nama angkleung-angkleung.
Nama tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu angka yang berarti nada dan lung yang berarti pecah.
Makna tersebut berkaitan erat dengan bentuk dan penggunaan angklung.
Nada yang dihasilkan oleh angklung berasal dari benturan pada badan pipa bambu.
Pada abad ke-12 hingga abad ke-16, alat musik tradisional ini dimainkan dalam pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci yang merupakan lambang dari Dewi Sri.
Biasanya dimainkan untuk memacu semangat para prajurit saat berperang.