Sebagai daerah yang mayoritas penduduknya memeluk Islam, tradisi meugang disebut punya kaitan erat dengan pengamalan ajaran agama.
Marzuki menjelaskan, dalam meugang terdapat ruh nilai-nilai keislaman.
Terkhusus saat Ramadhan, masyarakat yang merayakannya dimaknai sebagai sebuah bentuk suka cita dan kesiapan dalam menyambut datangnya bulan penuh berkah tersebut.
Selain itu, meugang juga dinilai sebagai ajang untuk bersedekah kepada fakir miskin, janda dan anak yatim, serta orang jompo.
Sedekah dalam meugang dibagi menjadi dua macam, yakni sedekah dalam bentuk daging mentah seberat setengah hingga satu kilogram, dan memberi makan berupa masakan daging.
Menurut masyarakat setempat, merayakan meugang bukanlah suatu kewajiban, melainkan sebuah keharusan.
Oleh karena itu, setiap lapisan masyarakat akan tetap merayakan meugang, bagaimana pun kondisinya.
Bagi yang tidak bisa membeli daging sapi atau lembu, bisa menggantinya dengan menyembelih ayam maupun bebek.
Sejarah meugang
Tokoh masyarakat Aceh, Ali Hasjmy mengatakan, tradisi unik ini telah dimulai sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam.
Dalam bukunya, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Ali menjelaskan bahwa di hari itu, raja memerintahkan kepada Balai Fakir, badan yang menangani fakir miskin dan duafa, untuk membagikan daging, pakaian, dan beras kepada masyarakat tersebut.