Kembali pada budaya yang mengkonstruksi sifat dan peran kelompok gender, yang kemudian menciptakan stereotip atau stigma.
Hal ini adalah persepsi nyata yang sudah ada di masyarakat.
Pria diajarkan untuk menjadi karismatik, maskulin dan penuh wibawa, sedangkan wanita seakan diajarkan untuk lemah lembut, penurut dan juga menjadi istri yang baik.
Tentu saat wanita tidak bisa menkonstruksi hal tersebut akan diberi label yang buruk begitu pula laki-laki.
Padahal, perselingkuhan seperti dalam kasus Nissa Sabyan, bukanlah hubungan satu arah, tapi dua arah.
Jika perempuannya saja yang disalahkan, hal itu karena perempuan yang selingkuh dianggap tidak sesuai dengan konstruksi sifat dan peran gender tersebut.
Maka, tidak heran jika kebanyakan wanita yang diselingkuhi tidak berani menyalahkan pasangannya melainkan menumpahkan kesalahannya itu pada sang pelakor.
"Kalau kita bicara tentang psikologi wanita yang diselingkuhi, pasti dalam hatinya sangat tersakiti dan kecewa oleh perilaku suaminya itu.
Namun sebagai pengalihan dari rasa sakit dan kecewanya, akhirnya dia menyalahkan si pelakor," ungkap Hening Widyastuti Psikolog Sosial asal Solo ketika dihubungi Kompas.com, Sabtu (20/2/2021).
Lebih lanjut Hening menuturkan, meskipun awalnya menyalahkan pelakor atas perselingkuhan ini, wanita yang diselingkuhi pasti tetap memiliki rasa kecewa terhadap suami.