Tambang Grasberg saja sepertinya merupakan alasan yang cukup di mata Indonesia untuk mempertahankan kendali kuat atas provinsi Papua.
Untuk sebagian besar operasi Grasberg, perusahaan peleburan aluminium milik negara, Inalum, hanya memegang 9,36 persen saham, sedangkan sisanya dipegang oleh perusahaan pertambangan AS Freeport-McMoRan.
Setelah mendapat tekanan dari Presiden Joko Widodo, Freeport menandatangani perjanjian pada 2018 yang membuat saham Indonesia naik menjadi 51,23 persen, yang mencakup sepuluh persen saham yang dimiliki oleh sebuah perusahaan tambang Papua.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia secara jelas melihat Papua sebagai sumber potensi keuntungan ekonomi jangka panjang, dan sepertinya tidak akan lepas dari cengkeraman Indonesia, terutama setelah memperebutkan kepemilikannya di tambang Grasberg.
Namun, isu separatisme telah menjadi perhatian keamanan utama bagi Pemerintah Indonesia apalagi setelah kasus Timor-Leste, yang mengilhami gerakan separatis di provinsi strategis ekonomi Aceh, Riau, dan Papua (saat itu dikenal sebagai Irian Jaya).
Dalam kasus Papua Barat saat ini, kekhawatiran tersebut masih dirasakan di dalam tubuh Pemerintah Indonesia.
Terlepas dari realistis atau tidaknya ketakutan akan balkanisasi, hal itu akan terus membentuk pendekatan Indonesia terhadap masalah Papua Barat.
Unsur lain yang dapat ditambahkan ke ketakutan itu adalah perjuangan sulit yang dihadapi Indonesia dalam menyeimbangkan hubungan ekonominya dengan negara-negara seperti China sambil secara bersamaan melawan pengaruh asing.
Dalam konteks tindakan penyeimbangan Indonesia dengan China, Indonesia akan terus peka terhadap fakta bahwa Papua Barat yang merdeka akan jauh lebih rentan terhadap pengaruh China daripada sebagai bagian dari Indonesia.