Intisari dimaksudkan untuk menjadi pendobrak politik isolasi yang dilakukan pemerintahan Soekarno saat itu. Namun, bukan dengan tulisan yang menyerang, melainkan "tedeng aling-aling".
Ojong dan Jakob merasa perlu hadirnya media yang memuat artikel yang membuka mata dan telinga masyarakat.
Sebuah media yang kaya dengan gaya human story, penuh nilai kemanusiaan. Namun, kehadiran Intisari tampaknya belum cukup.
Baca Juga: BREAKING NEWS : Jakob Oetama, Pendiri Kompas Gramedia Meninggal Dunia di Usia 88 Tahun
Sebab, beberapa tahun kemudian duet Jakob-Ojong melahirkan koran yang dimaksudkan dapat menjadi alternatif, pilihan lain dari banyaknya media partisan yang terbentuk akibat kondisi politik pasca-Pemilu 1955 itu. Pada saat, koran itu dikenal dengan nama Kompas.
Dampak polarisasi politik
Dikutip dari buku Syukur Tiada Akhir (2011), kehadiran Kompas berawal dari situasi politik yang terbilang tegang dan begitu terpolarisasi ketika itu.
Setelah keluarnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, setidaknya ada tiga kekuatan politik besar. Pertama, adalah Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Dekrit Presiden menyebabkan konsolidasi kekuasaan dan politik terpusat kepada Bung Karno, yang menjalankan praktik demokrasi terpimpin.
Kedua, adalah Partai Komunis Indonesia yang merapat pada Bung Karno. PKI juga memiliki sejumlah media yang menjadi corong partai dan menyebarkan pemikirannya secara masif.
Dalam beberapa hal, pemikiran itu dinilai cenderung membelenggu masuknya informasi dari luar. Ketiga, adalah kekuatan ABRI yang berusaha meredam kekuatan politik PKI.