Saat itu, Arie mengatakan, Komisi Antiflu di Hindia-Belanda dibentuk untuk menangani pandemi flu. Setidaknya ada sejumlah kebijakan tegas yang dikeluarkan.
"Pertama mengatur karantina, sosialisasi dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat (tentang pandemi), peraturan, dan sanksi," kata Arie. Dia melanjutkan, pemerintah saat itu setelah melakukan rekayasa keluar masuk orang, kemudian melakukan edukasi.
"Masyarakat diedukasi, perlu ada sanksi baik kepada petugas ataupun masyarakat yang melanggar. Kan sudah dikasih tahu jaga jarak, stay home, pakai masker, dan kalau sakit harus berobat," ucap Arie.
Ia mengatakan, badan yang mengatur koordinasi antar-lembaga selama pandemi sangat dibutuhkan. Sebab, pandemi tidak hanya urusan kesehatan.
Beberapa hal lainnya adalah urusan pelabuhan yang terkait dengan keluar masuk orang, urusan masyarakat yang menerangkan kepada masyarakat tentang apa yang harus dilakukan, termasuk urusan peraturan. Hal itulah yang dilakukan Komisi Antiflu saat pandemi tersebut terjadi tahun 1918.
"Perlunya badan yang mengatur koordinasi ini karena tidak boleh (pandemi) jadi tanggung jawab satu orang atau lembaga, karena yang paling pertama muncul adalah kepanikan masyarakat," kata dia.
"Terus nanti (masyarakat) cari informasi, kalau informasinya salah jadi ketidakpatuhan, pengabaian. Diulang-ulang oleh sejarawan pandemi, pesan-pesan pencegahan sering dilupakan dari mereka yang panik ke mengacuhkan," ucap dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Berkaca dari Sejarah Pandemi Flu: Tak Ada Konspirasi, Miliki Rentang Waktu, dan Butuh Kebijakan Tegas
(*)