Telah mengerahkan segala upaya untuk beradaptasi dengan lingkungan pulau terpencil tempat mereka terjebak, Natalie yang sangat menyayangi ayahnya yang ditinggalkannya di Inggris masih berharap sebuah kapal penyelamat akan datang sebelum musim hujan benar-benar dimulai.
Di sisi lain, Natalie mengakui bahwa saat-saat seperti menurutnya berguna untuk mengenal dirinya lebih baik lagi.
"Di saat-saat sunyi dan saat-saat sulit kelelahan fisik dan mental, saya masih kehilangan kendali dan berhenti menjadi sadar dan tenang.
"Tidak peduli seberapa ramah dan ceria saya biasanya, ketika dikurung di pulau yang relatif kecil dengan orang asing, saya menjadi murung, pemarah dan sedikit termotivasi," ungkapnya.
Namun, ada satu bonus terdampar di pulau itu selama pandemi coronavirus, yaitu satwa liar, pohon, dan tanaman tumbuh subur.
Tim relawan pun dapat melanjutkan pekerjaan mereka melestarikan karang.
"Kami pada dasarnya dikarantina di sini, tetapi tanpa biaya dan tujuan positif. Masuk akal untuk tetap tinggal," katanya. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul, Kisah Relawan Terumbu Karang yang 2 Bulan Terjebak di Pulau Terpencil Akibat Lockdown, Bertahan Hidup Berdampingan dengan Hewan-hewan Liar dan Sering Kelaparan