“Mereka menyiksa anak saya, melatihnya untuk menggunakan senjata dan sebagai hukumannya, ia disekap di kadang,” cerita Waheda kepada wartawan. Mereka berdua adalah warga Yazidi, sebuah komunitas agama di kalangan etnis Kurdi, yang menggabungkan aspek keyakinan Islam, Kristen, Yahudi, dan Zoroastrianisme.
Karena itu, mereka dilihat sebagai bidaah di mata pejuang radikal ISIS, yang merasa layak untuk membunuh, menangkap, dan memperbudak kaum Yazidi. Waheda tinggal di sebuah kota dekat Sinjar, Ninive, Irak utara ketika ia ditangkap dengan anaknya pada tahun 2014.
Semua pria di kota itu dibunuh, perempuan dan anak-anak diculik.
Perempuan muda dan cantik dijadikan budak seks, yang tua dibunuh, dan anak laki-laki dijadikan tameng di medan perang atau dijadikan pengebom bunuh diri.
Menurut Waheda, ia sempat dijual kepada banyak orang dengan cara memamerkan dirinya di pasar, seperti di pasar ternak.
“Orang pertama yang membeli saya adalah laki-laki dari Arab Saudi, kemudian pejuang Jordania,” kata Waheda dengan nada sendu.
Waheda katanya berhasil menarik perhatian dari tetangganya, seorang pejuang perempuan Tunisia yang datang secara sukarela ke Irak.
“Aku bercerita kepadanya dan ia telah melakukan segalanya untuk saya, ia membayar untuk lalu lintas saya keluar dari daerah tersebut,” katanya. “Saya hampir tak percaya, bahwa anak saya dan saya benar-benar masih hidup.”
Diperkirakan saat ini ada sekitar 3.000 perempuan Yazidi masih berada dalam penyekapan militan ISIS di kota yang kini sedang terkepung, yakni kota Mosul.
Tidak ada yang mengetahui secara pasti berapa banyak lagi perempuan dan anak-anak Yazidi yang masih berada di Mosul atau juga ke kota-kota lain di Suriah.