GridHype.ID - Wabah virus corona memang berdampak ke hampir seluruh sendi kehidupan manusia.
Tak terkecuali di bidang ekonomi.
Bahkan, imbas dari pandemi covid-19 bagi perekonomian sudah terlihat nyata di depan mata.
Tahun 2020, sejumlah negara besar sudah mengumumkan mengalami resesi atau pertumbuhan ekononomi negatif selama dua kuartal atau lebih secara berturut-turut.
Sebut saja Amerika Serikat, Korea Selatan, Perancis, Jerman, Singapura, Spanyol, Italia, dan lain-lain.
Indonesia, belum menyatakan mengalami resesi.
Namun potensi yang mengarah pada kondisi tersebut dinilai terbuka.
Presiden Joko Widodo sudah memperingatkan, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III-2020 ini masih lah negatif, maka Indonesia akan masuk ke jurang resesi.
Hal itu mengingat pertumbuhan di kuartal sebelumnya tercatat minus 5,32 persen.
"Kalau kita masih berada pada posisi minus, artinya kita masuk ke resesi," kata Jokowi, Selasa (1/8/2020) seperti diberitakan Kompas.com sebelumnya.
Akhir September
Ekonom sekaligus peneliti dari Institut for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira menyebut, resesi bisa terjadi di kuartal ke-III 2020 yang akan berakhir pada September ini.
" Resesi dipastikan akan terjadi ketika kuartal ke-III pertumbuhan ekonomi negatif," kata Bhima, dihubungi Rabu (2/9/2020).
Baca Juga: Digoyang Isu Resesi di Tengah Pandemi, Erick Thohir Pilih Pulihkan Sektor Kesehatan daripada Ekonomi
Ia menyebut sejumlah indikator sudah mengarah pada terjadinya resesi di antaranya pertumbuhan kredit perbankan menurut data uang beredar Bank Indonesia per Juli 2020 masih 1 persen atau tidak mengalami kenaikan signifikan dari bulan sebelumnya.
"Bahkan untuk kredit modal kerja tercatat negatif 1,7 persen dan kredit konsumsi tumbuh 1,5 persen. Lesunya pertumbuhan kredit perbankan menunjukkan tingkat risiko yang tinggi pada sisi debitur sehingga bank rem ekspansi kredit barunya," jelas dia.
Indikator kedua adalah data deflasi Juli dan Agustus menunjukkan daya beli masyarakat yang masih tertekan.
Bhima menjelaskan, jika resesi benar-benar terjadi maka sebagai konsekuensinya akan ada banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat adanya pemutusan hubungan kerja sepihak dari perisahaan.
"Otomatis dana yang ada tak mencukupi untuk menopang kebutuhan sehari hari. Masyarakat perlu lebih kreatif untuk memulai usaha di sektor ekonomi digital," ungkap Bhima.
Bisnis yang bisa bertahan
Bisnis di ranah digital dipandang sebagai satu lahan yang menjanjikan di masa sulit ini, karena masyarakat banyak memenuhi kebutuhannya melalui platform digital.
"Ini motor ekonomi yang prospeknya bagus ketika terjadi fenomena work from home dan pandemi angka positifnya masih tinggi. Maka masyarakat makin tergantung pada konsumsi barang dan jasa secara online," ucap dia.
"Syukur-syukur ada penciptaan lapangan kerja baru di sektor industri manufaktur, perdagangan, komunikasi, dan logistik, karena bonanza ekonomi digital," tambahnya.
Bhima menyebut, mulai saat ini perlu ancang-ancang agar penurunan ekonomi tidak semakin berlanjut. Semua pihak menurutnya bisa mengambil peran.
Tugas kita bersama adalah menghentikan laju resesi agar tidak berlanjut pada kuartal ke IV 2020," jelasnya.
Yang bisa dilakukan masyarakat
Dikutip dari Kompas.com (4/8/2020), pakar finansial Ahmad Gozali mengatakan dampak resesi ekonomi, terutama pada masyarakat kelas bawah adalah tingkat pengangguran yang bertambah.
"Produksi dalam negeri berkurang otomatis lapangan kerja juga berkurang. Hal ini menyebabkan naiknya angka kemiskinan," kata Gozali saat dihubungi Kompas.com, Selasa (4/8/2020).
Cara bertahan saat resesi
Agar bisa bertahan saat resesi, Gozali menyebut ada beberapa hal yang secara umum bisa dilakukan, yaitu:
- Melindungi sumber penghasilan
Sebagai karyawan menurut dia sebaiknya tidak agresif pindah pekerjaan dahulu sebelum ada kepastian pekerjaan baru lebih stabil.
"Untuk yang punya usaha, pertimbangkan kembali rencana ekspansi," kata Gozali
- Miliki dana cadangan
Dia menyampaikan dana cadangan sebaiknya dijaga 3-12 kali pengeluaran bulanan dalam bentuk likuid. "Artinya, kalau sekarang kurang dari itu, bisa ditambah dengan mengurangi aset risiko tinggi dan menambah likuiditas," kata Gozali.
- Tahan pembelanjaan besar, terutama kredit
Apabila sebelumnya ada rencana kredit kendaraan atau rumah, maka perlu dipelajari lagi risikonya.
"Apakah cukup aman untuk melanjutkan rencana tersebut. Jangan terlalu memaksakan, misalnya menggunakan dana cadangan untuk bayar DP (down payment)," kata Gozali.
"Intinya dana cadangan menjadi semakin penting, jangan terpakai untuk hal lain dulu. Bahkan kalau bisa ditambah," imbuhnya.
Tetap belanja secara rutin "Karena pembelanjaan konsumtif rumah tangga untuk hal-hal penting di Indonesia justru menjadi salah satu pendorong ekonomi yang dominan," kata Gozali.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Jika Resesi Tak Bisa Dihindari, Ini yang Dapat Dilakukan Masyarakat
(*)