Gerobak sapi berawal dari Kerajaan Mataram yang telah menganut ajaran islam.
Bajingan menarik hasil panen yang dihasilkan oleh masyarakat Mataram.
Wilayah tersebut meliputi Yogyakarta dan eks karesienan Surakarta.
Pada era pemerintahan Hindia-Belanda, masyarakat pribumi tidak dapat menaiki transportasi mewah sebagaimana para pejabat Eropa.
Mereka hanya dapat menunggangi bajingan untuk mobilisasi sehari-hari.
Hal itupun juga hanya bisa didapat oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas.
Setelah kemerdekaan, bajingan dapat berfungsi untuk mengangkut material seperti halnya truk pada zaman sekarang.
Pada 1974, tarif yang harus dibayar untuk satu kali angkut material sampai ke tujuan adalah seniali Rp150.
Istilah ‘bajingan’ yang dulunya bermakna positif lama-kelamaan berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Teknologi yang semakin berkembang membuat masyarakat tidak lagi menggunakan gerobak sapi tersebut.
Profesi bajingan semakin lama semakin berkurang dan menjadi langka.