"Meskipun ada manfaat untuk tidur bersama, salah satu pasangan yang memiliki kebiasaan tidur yang mengganggu dapat memengaruhi yang lain dan meningkatkan produksi hormon stres kortisol, sehingga menyebabkan masalah yang berdampak pada pasangan secara keseluruhan," ungkap psikoterapis hubungan dan keintiman dari Houston, Mary Jo Rapini, kepada New York Times.
Rapini menambahkan, biasanya pihak yang menyukai gagasan tentang tempat tidur terpisah adalah pihak perempuan.
"Perempuan lebih sensitif terhadap kebiasaan buruk pasangan tidur mereka. Kehamilan dan perubahan atau masalah hormonal juga dapat menyebabkan mereka ingin tidur sendiri," katanya.
Meski sejumlah lingkungan sosial mungkin memandangnya sebagai sebuah tanda yang kurang baik terhadap keharmonisan hubungan, menurut para ahli, istirahat yang cukup membantu seseorang mampu mengelola hidup dengan lebih fokus dan terkontrol.
Pada akhirnya, kita akan merasa lebih puas dan lebih bahagia dalam hubungan.
Menurut penulis Sleeping Apart Not Falling Apart, Jennifer Adams, ketika kedua belah pihak mendapatkan tidur malam restoratif, hal itu memungkinkan mereka untuk merasa lebih sehat secara emosional, mental, dan fisik.
Hubungan juga tidak akan diwarnai oleh kebencian dari pasangan, misalnya karena membuat mereka sulit tidur malam hari atau perasaan bersalah karena mengganggu tidur pasangannya.
"Itu (kesehatan emosional, mental, dan fisik) adalah fondasi yang baik untuk membangun dan menjaga hubungan," ungkapnya.
Sebuah studi tahun 2016 dari Paracelsus Private Medical University di Nuremberg, Jerman, menunjukkan bahwa masalah tidur dan masalah hubungan cenderung terjadi secara bersamaan.
Kurang tidur pada satu orang yang diakibatkan orang lain, seperti karena dengkuran, gelisah, atau suhu ruangan, dapat menyebabkan konflik hubungan.