Gridhyp.id- Disebut-sebut sebagai potensi konflik paling berbahaya di Asia, rupanya Laut Natuna menjadi satu dari sekian daftar konflik di Laut China Selatan.
Dilansir dari Wikipedia, klaim yang terjadi di wilayah itu meliputi:
Indonesia, Tiongkok, dan Taiwan atas perairan di timur laut Kepulauan Natuna.
Filipina, Tiongkok, dan Taiwan atas Scarborough Shoal.
Vietnam, Tiongkok, dan Taiwan atas perairan di barat Kepulauan Spratly.
Beberapa atau semua pulau diperebutkan oleh Vietnam, Tiongkok, Taiwan, Brunei, Malaysia, dan Filipina.
Kepulauan Paracel diperebutkan oleh RRC/ROC dan Vietnam.
Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Vietnam atas perairan di Teluk Thailand.
Singapura dan Malaysia atas perairan sekitar Selat Johor dan Selat Singapura.
Namun mengapa wilayah tersebut diperebutkan?
Rupanya Laut China Selatan adalah salah satu jalur air paling sibuk di dunia.
Konflik berasal dari masalah sejarah dan wilayah geografis.
Melansir South China Morning Post, China mengklaim lebih dari 80% sedangkan Vietnam mengklaim hak mereka atas pulau Paracel dan Pulau Spratly.
Sementara kepemilikian kepulauan Spratly dipercaya Filipina dimiliki mereka dan stok ikan di Scarborough.
Brunei Darussalam dan Malaysia telah mengklaim kepemilikian bagian selatan wilayah laut tersebut dan beberapa pulau di kepulauan Spratly.
China kemudian membangun garis pemisah berupa 'nine-dash line' untuk mengklaim hak mereka atas wilayah laut tersebut.
Garis tersebut membentang sepanjang 2000 km dari kepulauan China hingga laut wilayah Malaysia dan Indonesia.
Namun rupanya tidak hanya itu saja yang dibangun oleh China terkait klaim mereka atas Laut China Selatan.
Mengutip kanal berita dw.com, 14/12/2016 diberitakan jika negara tirai bambu tersebut telah memasang senjata di pulau Spratly.
Terdapat 7 pulau buatan di kepulauan tersebut dan China telah membangun sistem senjata di kesemua pulau, bahkan meskipun wilayah tersebut masih menjadi persengketaan.
Dilaporkan oleh pihak Inisiatif Transparansi Maritim Asia (AMTI), mereka mulai melacak konstruksi bangunan identik berstruktur segi enam di beberapa garis pantai pulau Spratly musim panas 2016 lalu.
Laporan kepolisian yang mempelajari kasus tersebut bersamaan dengan laporan komandan Amerika Serikat di wilayah militer Pasifik. Harry Harris yang mengingatkan Amerika akan melanjutkan menantang langkah China untuk semakin asertif dan agresif untuk mengklaim Laut China Selatan.
Banyak foto-foto beredar mengenai pembangunan sistem senjata di wilayah tersebut.
AMTI mengatakan fasilitas itu memiliki senjata anti serangan udara atau senjata jarak dekat gunanya untuk melawan serangan rudal dari kapal yang menyerang.
AMTI juga menyebut, ada penutup digunakan untuk menutupi menara di salah satu pulau, tetapi ukuran strukturnya membuat mereka yakin mereka juga menutupi sistem pertahanan yang sama pada teluk-teluk yang lebih kecil.
Hal ini menunjukkan, China sudah sangat serius untuk mengklaim hak atas kepentingan di Laut China Selatan.
Pihak China bersikeras mereka tidak berniat untuk memiliterisasi kepulauan yang berada di jalur perdagangan strategis tersebut.
Namun pimpinan AMTI, Greg Poling mengatakan ini sudah sebuah tindakan militerisasi.
"China tidak dapat berargumen hal ini hanya untuk kepentingan pertahanan diri semata, karena jika kamu membangun senjata anti serangan udara raksasa dan meletakkan penahan rudal, kamu mempersiapkan konflik masa depan."
China saat itu berencana untuk melancarkan rudal lewat udara ditujukan ke pulau di wilayah utara dari Laut China Selatan.
Sistem senjata di Spratly tentunya akan menyediakan cadangan energi untuk sistem tersebut.
Washington dengan tegas menolak klaim dan kuasa China atas wilayah tersebut.
Baca Juga: Tidak Disangka, Serangan AS Terhadap Iran Dapat Menyebabkan Harga BBM di Indonesia Naik, Diprediksi Ahli 2020 Harga Minyak Bumi Melonjak Naik, Mengapa?
Baca Juga: Jenazah Lina Diotopsi Hari ini, Rizky Febian dan Putri Delina Tampak Menghadiri Proses Otopsi
Hal ini disampaikan oleh Harry Harris dalam konferensi polisi di Australia.
Hal tersebut datang setelah China marah akibat Donald Trump melanggar konvensi dengan China setelah berbicara langsung dengan pimpinan Taiwan, Tsai Ing-wen.
Trump memberi saran Washington dapat menggunakan kembali kebijakan 'One China policy' yang memperbolehkan Amerika berbisnis dengan China dan Taiwan tetapi hanya mengenali kerjasama diplomatis dengan China.
Harris mengatakan "kami tidak akan memperbolehkan sumber daya ditutup secara sepihak, tidak peduli berapa banyak yang dibangun di wilayah Laut China Selatan."
Merujuk pada kesepakatan PBB di bulan Juli 2016 yang diangkat oleh Filipina, adanya konstruksi China ini merupakan tindakan ilegal.
Selain klaim dari masalah sejarah dan geografis, Laut China Selatan juga kaya akan minyak dan sumber gas, yang bernilai mencapai puluhan triliun dolar Amerika Serikat.
Berikut ini foto-fotonya:
(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari online dengan judul,Pantas China Begitu Berani 'Ngacak-ngacak' Laut Natuna, Keberadaan Senjata-senjata Mematikan di Pulau Ini Ternyata Benar-benar Mengerikan