GridHype.ID - Angka kasus Covid-19 varian Omicron hingga kini masih menunjukkan peningkatan dibeberapa wilayah Indonesia.
Sementara itu,para ahlimemprediksi kasus Omicron di Indonesia akan mencapai puncaknya pada bulan Maret mendatang.
Sayangnya, tak sedikit masyarakat Indonesia yang menyepelekan varian Omicron ini karena dinilai tidak seberbahayavarian Delta.
Ya, gejala varian Omicron bisa dibilang lebih ringan jika dibanding dengan varian Covid-19 sebelumnya.
Melansir Kontan.co.id, informasi terbaru yang tercatat di ZOE Covid, aplikasi pelacak Covid-19 di Inggris, mengungkapkan lima ciri-ciri gejala Omicron teratas yang banyak dikeluhkan pasien, seperti berikut.
- Sakit kepala
- Pilek
- Bersin-bersin
- Sakit tenggorokan
Baca Juga: Sejumlah Pasien Omicron Rasakan Keluhan di Perut, Inilah5 Cara Meredakan Gejalanya
- Batuk kering
Meski gejalanya cukup ringan,efek Covid-19 varian apapun nyatanya tidak hanya berlangsung di saat infeksi namun juga jangka panjang.
Mengutip Nova.ID, efek Covid-19 jangka panjang tidak hanya gangguan fisik namun juga gangguan mental yang bisa muncul di masa depan.
Peneliti di Amerika Serikat melihat data pada 153.848 orang yang pernah positif Covid-19 dan membandingkannya dengan lebih dari 56.000 orang yang tidak memiliki riwayat Covid.
Hasil penelitian yang diterbitkan British Medical Journal ini menunjukkan penyintas Covid-19 berisiko mengembangkan masalah kesehatan mental.
Mulai dari kecemasan, depresi, gangguan tidur, penggunaan narkoba bahkan setelah satu tahun dinyatakan sembuh.
Penelitian ini mendukung temuan sebelumnya tapi dengan waktu yang lebih panjang, yakni melacak perubahan-perubahan yang terjadi selama 12 bulan.
Jika dibandingkan dengan kelompok orang yang belum pernah terinfeksi, penyintas Covid-19 menunjukkan risiko 60 persen lebih tinggi menderita gangguan mental atau memerlukan perawatan kesehatan mental dalam satu tahun terakhir.
Pada penelitian ditemukan adanya risiko kecemasan 35 persen lebih tinggi dan peningkatan risiko 39 persen mengalami depresi.
Sementara itu, presentase lebih kecil pada gangguan tidur sekitar 2,4 persen dan 0,4 persen dalam masalah penggunaan narkoba.
Risiko tertinggi dengan gangguan mental diderita oleh pasien yang dirawat di rumah sakit.
Kendati demikian risiko tetap ada bagi yang dirawat atau isolasi mandiri di rumah.
"Banyak orang menghadapi perjuangan berat untuk membangun kembali kehidupan mereka," kata Dr Adrian James, Presiden di Royal College of Psychiatrists, dilansir dari Kompas.com.
Memantau pemulihan pasien secara aktif melalui program screen and treat setidaknya dapat membantu mereka mendapat perawatan kesehatan mental yang tepat.
"Pengobatan sangat penting, tapi sulit untuk saat ini. Sebab, kebanyakan orang kesulitan saat mengalami gangguan mental dan tidak mencari pertolongan," pungkasnya.
(*)