Awan Ini Jadi Penyebab Berbagai Tragedi dari AirAsia, Adam Air, Garuda hingga Sriwijaya Air, Begini Penjelasan Kenapa Cumulonimbus Jadi 'Mimpi Buruk' Penerbangan

Senin, 11 Januari 2021 | 13:45
Instagram/@santiagoborja

Awan Cumulonimbus di langit Samudra Pasifik

GridHype.ID - Berbagai insiden pesawat dari tragedi AirAsia, Adam Air hingga Sriwijaya Air, disebabkan dengan awan disebut sangat membahayakan keselamatan penerbangan.

Awan tersebut tak lain aadalah awan (Cumulonimbus).

Awan ini dikenal sebagai sebuah ancaman bagi perjalanan udara.

Tak sedikit pesawat yang mengalami kecelakaan saat melewati awan Cumulonimbus ini.

Baca Juga: Begini Cara Cek dan Mencairkan Dana Bansos Tunai Rp 300 Ribu

Sebelumnya, kabar duka datang dari maskapai Sriwijaya Air.

Pesawat SJ182 Boeing737-500 jalur Jakarta-Pontianak hilang kontak dan menyebabkan gagal landing.

Insiden tersebut diketahui terjadi pada Sabtu (9/1/2021) sore.

Lokasi hilang kontak pesawat Sriwijaya Air SJ182 ini terekam oleh Flightradar24.

Di laman flighradar24.com, tertera informasi pesawat tersebut terjadwal berangkat pada pukul 13.40 WIB dan dijadwalkan tiba pukul 15.15 WIB.

“SJ182 PKCLC, STD 13:25WIB, Stand : D52, Off Block 14:13WIB, Takeoff 14:36WIB. Lost contact, semoga selamat,” begitu informasi yang diterima Wartakotalive, Sabtu (9/1) sekitar pukul 16.50 WIB.

Namun penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya Air belum diketahui.

Tim penyelamat saat ini tengah mencari Black Box pesawat SJ182 di laut di sekitar Pulau Laki.

Baca Juga: Pilu Satu Keluarga Jadi Korban Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ182, Kerabat Ceritakan Anak yang Masih Berusia 8 Bulan Sempat Tak Ingin Lepas darinya Sebelum Berangkat

Sementara itu, hasil analisis Badan Metereologi, Klimatologi dan geofisika (BMKG) menyatakan, saat ini banyak potensi terbentuknya awan yang bisa membahayakan penerbangan di sejumlah wilayah di Indonesia.

"Berdasarkan analisis dan prediksi BMKG yang disampaikan Desember lalu dan selalu diperbarui hingga Januari 2021, secara umum masih berpotensi tinggi terjadinya pembentukan awan Cumulonimbus yang dapat membahayakan penerbangan," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati lewat keterangan tertulis, Jakarta, Ahad, sebagaimana dilansir dari ANTARA.com.

Sedangkan deputi bidang Meteorologi Guswanto menjelaskan, awan Cumulonimbus ini berpotensi ada terutama di Wilayah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

"BMKG terus mengimbau masyarakat dan semua pihak yang terkait dengan sektor transportasi, untuk selalu meningkatkan kewaspadaan terhadap cuaca signifikan atau potensi cuaca ekstrem yang masih dapat terjadi di puncak musim hujan ini, demi mewujudkan keselamatan dalam layanan penerbangan," kata Guswanto.

Sementara itu, dilansir dari Kompas.com, BMKG sejak Oktober telah memprediksikan bahwa Puncak Musim Hujan akan terjadi pada Januari dan Februari 2021.

Di mana saat puncak musim hujan terjadi maka potensi cuaca ekstrem di sejumlah wilayah di Indonesia juga akan meningkat.

Baca Juga: Sempat Dituding Jadi Anak Durhaka, Inilah Cerita Sebenarnya di Balik Alasan Anak yang Penjarakan Ibu Kandungnya: Saya Tidak Bisa Mencabut Laporan, Saya Mencari Keadilan

Guswanto mengatakan, untuk tujuh hari ke depan diprediksikan potensi cuaca ekstrem berpeluang terjadi di sejumlah wilayah.

Cuaca tersebut berpotensi menimbulkan dampak bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, hujan lebat disertai angin kencang dan kilat atau petir, serta gelombang tinggi yang membahayakan pelayaran dan penerbangan.

Oleh sebab itu, kondisi cuaca ektrem ini bisa sangat berpengaruh terhadap keselamatan penerbangan.

Berdasarkan analisi BMKG, Guswanto melanjutkan, saat ini secara umum masih berpotensi tinggi terjadinya pembentukan awan-awan yang bisa membahayakan penerbangan.

"Oleh karena itu BMKG terus mengimbau masyarakat dan semua pihak yang terkait dengan sektor transportasi, untuk selalu meningkatkan kewaspadaannya terhadap cuaca signifikan atau potensi cuaca ekstrem yang masih dapat terjadi di puncak musim hujan, demi mewujudkan keselamatan dalam layanan penerbangan," kata Guswanto.

Tanda Kehadiran Awan Cumulonimbus

NASA

Cumulonimbus

Awan Cumulonimbus sendiri memiliki bentuk awan vertikal menjulang sangat tinggi, padat, dan di dalamnya mengandung badai petir serta cuaca dingin, sebagaimana dilansir dari wikipedia.

Jelas, berbahaya sekali kalau melihat kekuatan hempasannya.

Berasal dari bahasa Latin, "cumulus" berarti terakumulasi dan "nimbus" berarti hujan.

Baca Juga: Kabar Terbaru dari Jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182, Bagian Badan Pesawat hingga 10 Jasad Korban Telah Ditemukan

Awan ini terbentuk sebagai hasil dari ketidakstabilan atmosfer.

Awan-awan ini dapat terbentuk sendiri, secara berkelompok, atau di sepanjang front dingin di garis squall.

Awan ini menciptakan petir melalui jantung awan.

Awan terbentuk dari awan kumulus (terutama dari kumulus kongestus) dan dapat terbentuk lagi menjadi supersel, sebuah badai petir besar dengan keunikan tersendiri.

Adapun tragedi kecelakaan pesawat yang terjadi yang disebabkan oleh awan Cumulonimbus.

AirAsia

Kompas.com/WAHYU ADITYO PRODJO

ilustrasi pesawat Air Asia

Pesawat AirAsia QZ 8501 mengalami kecelakaan yang penyebabnya diduga menghindari awan pada akhir tahun 2014 lalu.

Kala itu, diketahui sang pilot melaporkan akan menghindari awan Cumulonimbus dengan berbelok ke arah kiri dan kemudian minta izin menaikkan ketinggian pesawat menjadi 38.000 kaki dari posisi awal 32.000 kaki.

Semenit berselang, ATC Bandara Soekarno-Hatta kehilangan kontak dengan pesawat yang dikemudikan Kapten Irianto.

Baca Juga: Bukannya Jadi Sehat, Pasein yang Berobat di Rumah Sakit ini Justru Meninggal dengan Cara Misterius

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan penjelasan terkait cuaca disepanjang rute yang dilalui Pesawat AirAsia yang hilang kontak tersebut.

Menurut BMKG, terdapat awan tebal berjenis di sekitar rute pesawat.

"Area kawasan rute penerbangan berawan dan banyak awan sepanjang rute. Ada awan juga dan ada juga awan-awan jenis lainnya," ujar Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan dan Maritim BMKG Syamsul Huda saat dihubungi Kompas.com, Jakarta, Minggu (28/12/2014).

Sebagai informasi, awab Cumulonimbus bisa terbentuk sebagai hasil dari ketidakstabilan atmosfer.

Awan-awan ini dapat terbentuk sendiri, secara berkelompok, atau di sepanjang front dingin di garis squall.

Lebih lanjut kata dia, biasanya saat pesawat memasuki awan akan terjadi guncangan pada pesawat.

Sementara itu, kecepatan angin disekitar hilangnya kontak pesawat pada ketinggian 30.000 feet yaitu 20 knot. Sedangkan pada ketinggian diatas 34.009 feet yaitu 25 knot.

Dalam kecepatan itu, Syamsul mengatakan, pesawat amsih bisa melaluinya dengan aman.

Baca Juga: Sebuah Studi di Wuhan Sebut Gejala Covid-19 Bisa Bertahan Selama 6 Bulan Pasca Keluar dari Rumah Sakit

Sebenarnya, lanjut Syamsul, kondisi berawan tersebut sudah bisa diketahui airlines karena sebelum take off pasti BMKG sudah memberikan informasi terkait cuaca kepada otoritas bandara.

Namun, memang kata dia, saat pesawat teraebut take off kondisi cuaca masih kondusif.

"Saat airlines memutuskan untuk terbang berarti sudah menganalisa siap terhadap cuaca," kata dia.

Garuda Indonesia Airlines

Airlive.net

Pendaratan darurat pesawat B737-300 Garuda Indonesia GA421 di anak sungai Bengawan Solo akibat mesin mati

Kejadian serupa juga dialami pesawat Garuda Indonesia.

Dijelaskan, pesawat dengan nomor penerbangan 421 pada 16 Januari 2002 itu mengalami kecelakaan akibat gangguan awan badai.

Keadaan cuaca kala itu pun dijelaskan oleh BMKG.

"Garuda Indonesia Airlines dengan nomor penerbangan 421, sebuah Boeing 737-300 dengan registrasi PK-GWA mengalami dual-engine flameout (power loss) akibat mencoba menghindari awan badai," jelas BMKG.

Pernyataan ini dijelaskan pada awal 2015 lalu.

Baca Juga: Bisa Bikin Gatal Hingga Rambut Rontok, Begini Caranya Bikin Cairan Alami yang Ampuh Hilangkan Ketombe Membandel

Pesawat Garuda Indonesia tersebut pun mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo, Solo, Jawa Tengah.

Total orang yang ada di pesawat tersebut berjumlah 60 orang.

Satu pramugari tewas karena terseret arus sungai, 12 penumpang mengalami luka fatal, dan 10 penumpang mengalami luka ringan.

Analisis dari DFDR menunjukkan, pesawat memasuki daerah dengan cuaca buruk disertai badai.

Adam Air 574

Tribun Jogja

Tragedi Adam Air 574, pada 2007

Kecelakaan pesawat akibat cuaca buruk juga pernah dialami maskapai penerbangan Adam Air.

Pesawat Adam Air penerbangan 574 mengalami kecelakaan pada 1 Januari 2007 silam.

BMKG menjelaskan, pesawat dengan rute penerbangan Jakarta-Surabaya-Manado itu mengalami kerusakan pada alat bantu navigasi yang diakibatkan cuaca buruk.

Pesawat kemudian terjatuh di Perairan Manece, Sulawesi Barat.

Baca Juga: Namanya Masuk Daftar Korban, Ternyata Rachmawati Batal Pulang Gunakan Pesawat Sriwijaya SJ 812

Kemudian pada 27 Agustus 2007, Black Box pesawat akhirnya ditemukan.

Kesimpulan dari data yang diperoleh, Adam Air jatuh ke laut menabrak permukaan air laut lalu terbelah menjadi dua.

Kejadian tersebut disebabkan oleh cuaca buruk dan kerusakan alat navigasi.

Setahun berselang, Agustus 2008 beredar rekaman pembicaraan yang konon dari pembicaran terakhir di kokpit Adam Air 574.

Jika rekaman tersebut asli, menurut KNKT, kecelakaan tidak diakibatkan dari kesalahan manusia.

Sriwijaya Air SJ 182

kompas.com/ Budy Setiawan Kontributor Kompas TV Manokwari
kompas.com/ Budy Setiawan Kontributor Kompas TV Manokwari

Cerita wanita yang terhindar dari kecelakaan pesawat Sriwijaya Air

Belum diketahui apakah cuaca dan awan Cumulonimbus yang menyebabkan pesawat Sriwijaya Air hilang kontak dan jatuh.

Hingga saat ini, tim penyelamat tengah mengevakuasi puing-puing dan jenazah penumpang pesawat rute CGK-PNK.

Dari laporan, pesawat dengan nomor penerbangan SJ 182 itu dilaporkan jatuh di antara Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, Sabtu (9/1/2021).

Baca Juga: Bukan Cuma Raffi Ahmad, Dokter Tirta Akan Divaksin Tanggal 14 Januari 2021 Meski Tak Ada Undangan Resmi

Melansir Kompas.com, Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Bagus Puruhito mengatakan, pesawat Sriwijaya Air tidak memancarkan sinyal emergency location transmitter (ELT) ketika hilang kontak.

Sebagai informasi, ELT merupakan alat penentu lokasi pesawat yang termasuk dalam nagian dari standar peralatan pada pesawat.

ELT bisa dinyalakan langsung oleh pilot atau bisa hidup apabila pesawat membentur benda keras.

"Kan mestinya ada pancaran emergency location transmitter atau ELT, itu tidak ada," kata Bagus seperti dikutip dari siaran Metro TV, Sabtu.

Bagus menjelaskan, Basarnas kemudian berkoordinasi dengan Australia seputar sinyal ELT dari pesawat Sriwijaya Air SJ 182.

"Kita sudah koordinasi dengan Australia, Ausralia juga tidak menangkap (sinyal ELT). Jadi, kita hanya mendapatkan informasi dari AirNav dan radarnya Basarnas sendiri pada menit berapa dia (pesawat Sriwijaya Air) hilang dari radar," ungkap Bagus.

Sedangkan, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menilai wajar pesawat B737-500 milik Sriwijaya Air tak pancarkan ELT ketika hilang kontak.

Baca Juga: Blak-blakan, Nikita Mirzani Ungkap Pernah Terpapar Covid-19

Sebab, pesawat tersebut diduga membentur benda keras dan jatuh di perairan Kepulauan Seribu.

Dugaan ini berdasarkan temuan serpihan pesawat di lokasi kejadian.

"Jadi, ELT tidak didesain untuk impact yang besar. Jadi, kalau teman-teman di sana menemukan serpihan, berarti pesawat impact-nya cukup kuat. Dan kemungkinan besar ELT-nya enggak sukses," kata Kepala KNKT Soerjanto Tjahjono, kepada Kompas.com, di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Tangerang.

Dugaan lainnya adalah ELT di pesawat tersebut sudah rusak sehingga tidak menyala.

"ELT yang dipasang di pesawat itu kalau tenggelam ke air pasti tidak akan manjat. ELT-nya kemungkinan rusak," kata dia.

(TribunStyle.com/Nafis)

(*)

Artikel ini telah tayang di Tribunstyle.com dengan judul Tragedi AirAsia, Adam Air, Garuda, Sriwijaya Air, Ini Alasan Awan Cumulonimbus Bahayakan Penerbangan

Tag

Editor : Ruhil Yumna

Sumber Tribun Style