Gridhype.id–Tidak seperti keluarga coronavirus sebelumnya yang menyebabkan SARS dan MERS, virus terbaru yang berasal dari Tiongkok ini menyerang banyak organ manusia.
Tidak heran jika wabah COVID-19 telah membunuh lebih dari tiga ribu orang.
Kasus COVID-19 saat ini sudah menyentuh angka 90.930. Jika wabah ini terus menyebar, tidak ada yang tahu seberapa banyak bahaya yang akan timbul.
Seorang ahli epidemiologi terkemuka di University of Hong Kong mengingatkan, COVID-19 dapat menginfeksi 60 persen warga dunia jika dibiarkan tidak terkendali.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi kepada tubuh ketika ia terinfeksi oleh virus SARS-CoV-2?
Berikut yang telahdilansir dariNational Geographic berdasarkan wabah coronavirus sebelumnya.
Paru-paru
Bagi sebagian besar pasien, COVID-19 bermula dan berakhir di paru-paru. Sebab, sama seperti flu, coronavirus merupakan penyakit pernapasan.
Mereka menyebar ketika seseorang yang terinfeksi, mengalami batuk atau bersin dan ‘menyemprotkan’ tetesan yang dapat menularkan virus kepada siapa pun yang berada di dekatnya.
COVID-19 juga memiliki gejala seperti flu: pasien akan demam dan batuk yang kemudian berkembang menjadi pneumonia, atau lebih buruk.
Di hari-hari awal infeksi, novel coronavirus dengan cepat menyerang sel paru-paru manusia. Sel-sel tersebut berasal dari dua kelas: satu yang membuat lendir, sementara lainnya adalah silia yang seperti rambut.
Lendir, meskipun menjijikan ketika berada di luar tubuh, tapi ia membantu menjaga jaringan paru-paru dari patogen dan memastikan organ pernapasan Anda tidak kering.
Sementara itu, sel silia membersihkan ‘puing-puing’ seperti serbuk sari atau virus.
Matthew B. Frieman, profesor dari University of Maryland School of Medicine yang mempelajari coronavirus, menjelaskan bahwa SARS senang untuk menginfeksi dan membunuh sel silia, yang kemudian mengelupas dan mengisi saluran udara pasien dengan puing-puing dan cairan.
Ia menduga, hal yang sama juga terjadi pada virus corona baru.
Ini karena studi awal mengenai COVID-19 telah menunjukkan bahwa banyak pasien mengidap pneumonia pada kedua paru-paru, dibarengi dengan gejala seperti kesulitan bernapas.
Pada saat itulah, pasien memasuki fase kedua dan sistem kekebalan tubuh mulai melawan.
Takut dengan kehadiran virus penyerang, tubuh membanjiri paru-paru dengan sel-sel kekebalan untuk membersihkan kerusakan dan memperbaiki jaringan paru-paru.
Namun terkadang, sistem kekebalan tubuh Anda rusak dan sel-sel itu akhirnya membunuh apa pun yang ada di depan mereka, termasuk jaringan sehat Anda.
“Jadi, Anda mendapat lebih banyak kerusakan dibanding respons imun,” kata Frieman. Saat ada lebih banyak puing yang menyumbat paru-paru, pneumonia pun semakin memburuk.
Dalam fase ketiga, kerusakan paru-paru terus berlanjut—yang dapat menyebabkan kegagalan pernapasan.
Bahkan jika kematian tidak terjadi, beberapa pasien akan mengalami kerusakan paru-paru permanen.
Baca Juga: Air Mata BCL Kembali Tumpah Saat dengar Lagu yang Dibawakan Judika di Panggung Indonesian Idol
Perut
Selama wabah SARS dan MERS, hampir seperempat pasien memiliki diare. Namun, Frieman mengatakan, masih belum jelas apakah gejala gastrointestinal memainkan peran besar dalam COVID-19—mengingat kasus diare dan sakit perut masih langka.
Lalu, mengapa virus pernapasan bisa mengganggu pencernaan?
Ketika virus apa pun masuk ke dalam tubuh, ia mencari sel manusia dengan pintu favoritnya—protein di luar sel yang disebut reseptor.
Jika virus menemukan reseptor yang cocok pada sebuah sel, ia akan menginfeksinya.
Beberapa virus cenderung pemilih, tetapi yang lain sedikit lebih bebas. “Mereka dapat dengan mudah masuk ke berbagai tipe sel,” kata Anna Suk-Fong Lok, asisten dekan untuk penelitian klinis di University of Michigan Medical School sekaligus mantan presiden American Association for the Study of Liver Diseases.
Baik virus SARS dan MERS, keduanya dapat mengakses sel yang melapisi usus besar dan kecil kemudian menginfeksinya. Itu berpotensi menyebabkan kerusakan atau kebocoran cairan yang menjadi diare.
Meski begitu, Frieman mengatakan, peneliti belum tahu apakah novel coronavirus melakukan hal yang sama.
Para ilmuwan yakin, COVID-19 menggunakan reseptor yang sama dengan SARS dan ‘pintu’-nya dapat ditemukan di paru-paru dan usus kecil.
Dua studi--dipublikasikan pada New England Journal of Medicine dan medRxiv yang melibatkan 1.099 kasus—juga telah mendeteksi virus pada sampel tinja, yang mungkin mengindikasikan bahwa virus bisa menyebar melalui kotoran manusia. Namun, hasil ini masih jauh dari konklusif.
“Apakah penularan melalui tinja terjadi untuk virus Wuhan ini, kami belum mengetahuinya,” ujar Frieman.
Baca Juga: Mencegah Virus Corona: Jangan Menyentuh Wajah di Bagian Zona T Berikut ini dengan Tangan
Hati
Virus corona juga dapat menyebabkan masalah pada sistem lain dalam tubuh, karena respons imun hiperaktif yang sudah disebutkan sebelumnya.
Studi pada 2014 menunjukkan bahwa 92 pasien MERS setidaknya memiliki satu manifestasi coronavirus di luar paru-paru.
Yaitu, peningkatan enzim hati, serta sel darah putih, jumlah trombosit dan tekanan darah rendah.
Pada beberapa kasus langka, pasien mengalami cedera ginjal akut dan henti jantung.
Meski begitu, menurut Angela Rasmussen, ahli virus dan peneliti dari Columbia University Mailman School of Public Health, itu belum tentu pertanda bahwa virus menyebar sendiri ke seluruh tubuh. Bisa saja, itu badai sitokin.
Sitokin merupakan protein yang digunakan sistem kekebalan tubuh sebagai alarm—mereka mengumpulkan sel-sel imun ke tempat infeksi.
Sel-sel kekebalan kemudian membunuh jaringan yang terinfeksi untuk menyelamatkan seluruh tubuh.
Manusia mengandalkan sistem kekebalan tubuh untuk tetap tenang ketika menghadapi ancaman. Namun, selama infeksi virus corona, ketika sistem imun membuang sitokin ke dalam paru-paru tanpa regulasi apa pun, ‘pembersihan’ ini akan berdampak pada semuanya.
“Dibanding menembak target dengan senapan, ibaratnya kita seperti menggunakan rudal,” kata Rasmussen.
Di sini lah masalah bermula: tubuh tidak hanya mernagetkan sel yang terinfeksi, tapi juga jaringan yang sehat.
Komplikasinya terjadi di luar paru-paru. Badai sitokin menciptakan peradangan yang melemahkan pembuluh darah di paru-paru dan menyebabkan cairan meresap ke kantung udara.
Badai ini “membanjiri” sistem peredaran darah dan akhirnya menciptakan masalah sistemik di banyak organ.
Dari sana, keadaan bisa memburuk. Pada beberapa kasus COVID-19, respons sitokin—dikombinasikan dengan kapasitas yang berkurang dalam memompa oksigen ke seluruh tubuh—dapat menyebabkan kegagalan organ.
Para ilmuwan belum mengetahui dengan pasti mengapa beberapa pasien mengalami komplikasi di luar paru-paru, tapi itu mungkin berkaitan dengan kondisi yang mendasarinya seperti penyakit jantung atau diabetes.
“Bahkan jika virus tidak menyerang ginjal, hati, limpa dan hal lainnya, ia dapat memiliki efek yang jelas pada semua proses tersebut,” kata Frieman. Dan itu dapat membuat masalah menjadi serius.
Ketika virus corona menyebar dari sistem pernapasan, hati Anda serikngkali menjadi organ yang paling menderita.
Para dokter telah melihat adanya indikasi luka pada hati terkait SARS, MERS dan COVID-19.
Seringnya ringan, meski ada beberapa kasus parah yang menyebabkan kerusakan dan kegagalan hati.
“Begitu virus masuk ke aliran darah Anda, mereka dapat berenang ke bagian tubuh mana pun,” kata Lok. “Hati adalah organ yang sangat vaskular sehingga coronavirus dapat dengan mudah masuk ke sana,” imbuhnya.
Tugas utamanya adalah memroses darah setelah meninggalkan lambung, menyaring racun, dan menciptakan nutrisi yang dapat digunakan tubuh.
Hati juga mengeksresi empedu yang membantu usus kecil Anda memecah lemak. Hati juga mengandung enzim yang mempercepat reaksi kimia dalam tubuh.
Pada tubuh normal, Lok menjelaskan, sel hati terus menerus mati dan melepaskan enzim ke dalam aliran darah.
Organ yang banyak akal ini kemudian dengan cepat meregenerasi sel-sel baru. Karena proses regenerasi itu, hati dapat menahan banyak cedera.
Ketika Anda memiliki tingkat enzim yang tinggi dan abnormal dalam darah—seperti yang terjadi pada pasien SARS dan MERS—itu menjadi tanda peringatan.
Jika kasusnya ringan, hati dapat pulih kembali. Namun, jika parah, bisa terjadi kegagalan hati.
Lok mengatakan, para ilmuwan belum benar-benar memahami bagaimana virus pernapasan ini menyerang hati.
Virus mungkin langsung menginfeksi, mereplikasi dan membunuh sel-nya sendiri.
Atau, sel-sel itu mengalami kerusakan tambahan karena respons imun tubuh terhadap virus memicu reaksi inflamasi yang parah di hati.
Meski begitu, di sisi lain, Lok menyatakan bahwa gagal hati tidak pernah menjadi satu-satunya penyebab kematian pasien SARS.
“Saat kegagalan hati terjadi, kami sering menemukan bahwa pasien tidak hanya memiliki masalah pada paru-paru dan hati, tapi juga ginjal. Terjadi infeksi sistemik,” paparnya.
Ginjal
Ya, ginjal Anda juga bisa terdampak virus corona. Enam persen dari pasien SARS menderita cedera ginjal akut.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa virus corona baru pun bisa melakukan hal yang sama.
Ini mungkin tidak umum pada COVID-19, tapi jika terjadi, dampaknya sangat fatal.
Pada akhirnya, berdasarkan studi dari Kidney International pada 2005, diketahui bahwa, 91,7 persen pasien SARS dengan gangguan ginjal akut meninggal dunia.
Seperti hati, ginjal Anda berperan sebagai penyaring darah. Setiap ginjal diisi dengan sekitar 800 ribu unit penyulingan mikroskopis yang disebut nefron.
Nefron-nefron ini memiliki dua komponen utama: filter untuk membersihkan darah, serta tabung kecil untuk mengembalikan hal-hal baik ke dalam tubuh dan membuang yang kotor melalui urine.
Tubulus ginjal tampaknya yang paling terpengaruh oleh virus corona ini. Setelah wabah SARS merebak, WHO melaporkan bahwa virus ini ditemukan pada tubulus ginjal yang mengalami peradangan.
Kar Neng Lai, profesor emeritus di University of Hong Kong sekaligus ahli nefrologi di Hong Kong Sanatorium and Hospital menyatakan, tidak jarang ditemukan virus di tubulus, jika ia sebelumnya ada di dalam aliran darah Anda.
Karena ginjal Anda secara terus menerus menyaring darah, kadang sel tubular dapat menjeak virus dan menyebabkan cedera sementara atau ringan.
Cedera itu bisa jadi mematikan jika virus menembus sel dan mulai bereplikasi. Namun, Lai—yang juga bagian dari tim peneliti pertama yang melaporkan SARS dan berkontribusi pada studi Kidney International—mengatakan tidak ada bukti yang menyatakan bahwa virus SARS bereplikasi di dalam ginjal.
Menurut Lai, temuan yang menunjukkan cedera ginjal akut pada pasien SARS mungkin disebabkan beberapa faktor, termasuk tekanan darah rendah, sepsis, obat-obatan, atau gangguan metabolisme.
Sementara itu, semakin parah kasus yang mengarah ke gagal ginjal akut menunjukkan tanda-tanda badai sitokin.
Gagal ginjal akut pun kadang-kadang juga disebabkan oleh antibiotik atau kegagalan multiorgan. Pada akhirnya, semuanya terhubung.
Baca Juga: Tidak Sulit, Hand Sanitizer Bisa Dibuat Sendiri di Rumah, Yuk Coba!
Angka kesembuhan
Diketahui bahwa kebanyakan pasien (80%) mengalami gejala penyakit yang ringan. Sekitar 14% pasien mengalami cukup parah, sementara yang benar-benar kritis mencapai 5%.
Laporan sebelumnya melaporkan bahwa COVID-19 berkaitan dengan usia (sering terjadi pada orang tua berusia lebih dari 60 tahun) atau sebelumnya sudah memiliki penyakit.
Hingga berita ini diturunkan, sudah ada 48,177 pasien COVID-19 yang dinyatakan sembuh. (*)
Artikel ini telah tayang di National Gographic Indonesia dengan judul, Ini yang Terjadi Saat Virus Corona Menyerang Organ Tubuh