Gridhype.id-Perkembangan zaman rupanya tidak selalu membawa dampak baik banyak orang.
Pertumbuhan teknologi dan kebutuhan manusia yang berkembang pesat memicu tumbuhnya dunia industri.
Siapa sangka, hal ini sempat membuat banyak orang merasakan kerugian besar yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Kisah ini datang dari para pekerja pabrik korek api di London Bryant and May yang sangat terkenal di dunia.
Proses produksi korek api yang meningkat membuat perusahaan tersebut membutuhkan banyak pekerja guna memenuhi kebutuhan pasar.
Sekilas, hal ini memang menguntungkan bagi dunia kerja.
Namun nyatanya, produksi korek api justru membawa malapetaka bagi para pekerja di pabrik tersebut.
Pada tahun 1860-an, pabrik Bryant and May menduduki peringkat tiga terbesar, tak heran jika produksi besar-besaran dilakukan.
Mereka menggunakan tenaga laki-laki untuk melakukan proses pencelupan, pencampuran, dan pengeringan.
Adapun tenaga perempuan digunakan untuk mengeluarkan korek api dari bingkai dan menempatkannya di dalam kotak.
Meski tampak sepele, pekerjaan tersebut justru membawa mereka pada penderitaan yang tidak berujung.
Dilansir darinationalgeographic.grid.id, pada tahun 1880 Bryant and May telah menjadi salah satu produsen korek api terbesar yang menggunakan fosfor putih beracun.
Baca Juga: PILU! Ini Kesaksian Korban Selamat Tragedi Kanjuruhan, Kawan-Kawan Tewas dengan Wajah Membiru
Bryant and May yang memiliki kekuasaan besar justru memaksa buruh untuk bekerja dengan intensitas tinggi tanpa gaji yang sebanding.
Bukan hanya soal ekonomi, para pekerja harus mengalami penderitaan lantaran uap beracun yang mematikan dari fosfor korek api.
Ujung korek api terbuat dari fosfor putih agar dapat menyala dengan baik.
Sayangnya, uap yang dikeluarkan oleh senyawa ini sangat beracun dan mematikan bagi pekerjanya.
Efeknya, sebagian besar gadis-gadis buruh itu menunjukkan gejala aneh yang disebutrahangPhossy.
Mengenaskan, gejala yang tampak begitu jelas adalah adanya pembusukan di bagian rahang.
Bukan hanya itu, rahang mereka juga lambat laun mengeluarkan bau busuk yang tidak sedap.
Penyakit tersebut lama-kelamaan membuat mereka mengalami cacat pada wajah disertai rasa sakit yang amat sangat.
Tingginya korban akibat industri korek api tersebut telah dicatat oleh rumah sakit setempat.
Kala itu, tidak ada pengobatan paling baik selain mencabut rahang mereka untuk mencegah penyebaran penyakit.
Tak berhenti sampai di sana, efek yang bakal dirasakan para penderita nyatanya juga berkelanjutan.
Dokter mengatakan bahwa hal tersebut akan membuat mereka memiliki umur lebih pendek.
Dengan korban berjatuhan yang semakin tidak terkendali, muncul desakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi buruh.
Hal tersebut lantas dikaitkan dengan penghilangan uap yang mematikan namun justru mendapat penolakan.
Dalam hal ini, lagi-lagi masyarakat kecil menjadi korban kekejaman materi.
Para gadis korban korek api ini juga harus menangung hukuman berupa potongan upah apabila mereka datang terlambat, membuang bahan mentah, dan beragam kesalahan kecil lainnya.
Namun, hal tersebut tetap mereka jalani demi menghidupi sanak saudara di rumah.
Kondisi yangs semakin kacau membuat para pekerja turun ke jalan untuk menuntut keadilan.
Berkat keberanian mereka, pemerintah Inggris lantas melarang penggunaan fosfor putih dalam produksi korek api.
Baca Juga: Kisah Pilu Nyai Dasima hingga Mariam Si Manis Jembatan Ancol yang Lekat dengan Pergundikan VOC
(*)