GridHype.id- Kata yang satu ini mungkin akan terdengar menyeramkan di masa kini.
Kata ‘bajingan’ kerap dilontarkan sebagai bentuk makian dan umpatan.
Padahal, kata tersebut lahir dengan makna yang jauh berbeda dengan yang kita kenal sekarang.
Siapa sangka, kata ‘bajingan’ awalnya merupakan sebutan bagi sebuah profesi.
Dilansir dari nationalgeographic.id (26/8/2021), awalnya bajingan adalah profesi yang umum bagi masyarakat Jawa dan eksis sejak kekuasaan Mataram Islam di Indonesia.
Masa tersebut berada pada abad ke-16 Masehi.
Sejak zaman dulu, profesi ini sangat memiliki kekerabatan dan kerukunan yang sangat kuat.
Orang-orang bekerja sebagai penarik gerobak sapi disebut dengan istilah bajingan.
Bajingan adalah profesi kusir gerobak sapi sekaligus warisan kearifan lokal.
Baca Juga: Bikin Tahu Kriuk Ala Pedagang Pakai Cara Ini, Dijamin Super Kriuk Meski Sudah Dingin
Lebih jauh lagi mengenai sejarahnya, sapi adalah hewan yang paling disukai oleh kerajaan Mataram.
Gerobak sapi berawal dari Kerajaan Mataram yang telah menganut ajaran islam.
Bajingan menarik hasil panen yang dihasilkan oleh masyarakat Mataram.
Wilayah tersebut meliputi Yogyakarta dan eks karesienan Surakarta.
Pada era pemerintahan Hindia-Belanda, masyarakat pribumi tidak dapat menaiki transportasi mewah sebagaimana para pejabat Eropa.
Mereka hanya dapat menunggangi bajingan untuk mobilisasi sehari-hari.
Hal itupun juga hanya bisa didapat oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas.
Setelah kemerdekaan, bajingan dapat berfungsi untuk mengangkut material seperti halnya truk pada zaman sekarang.
Pada 1974, tarif yang harus dibayar untuk satu kali angkut material sampai ke tujuan adalah seniali Rp150.
Istilah ‘bajingan’ yang dulunya bermakna positif lama-kelamaan berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Teknologi yang semakin berkembang membuat masyarakat tidak lagi menggunakan gerobak sapi tersebut.
Profesi bajingan semakin lama semakin berkurang dan menjadi langka.
Bersamaan dengan hal itu, penempatan kata ‘bajingan’ semakin hari semakin berubah.
Makna yang dikandungnya bahkan beralih menjadi negatif.
Kaum milenial bahkan tak banyak yang mengetahui makna sebenarnya dari kata yang kerap mereka ucapkan.
(*)