Minta Pemerintah Segera Hentikan Kucuran Dana untuk Vaksin Nusantara, Para Ahli Sebutkan Dua Alasan Ini

Senin, 22 Februari 2021 | 13:45
iStock

Orang dengan 12 Kondisi Ini Tidak Bisa Mendapatkan Vaksinasi Covid-19

GridHype.ID - Guna menanggulangi wabah pandemi corona yang melanda, mantan Menteri Kesehatan Terawan menginisiasi sebuah vaksin lokal, vaksin inilah yang disebut vaksin Nusantara.

Bahkan pada Selasa (16/2/2021), telah dimulai tahap uji klinis kedua di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Kariadi Semarang.

Namun baru-baru ini, secara mengejutkan para ahli meminta pemerintah untuk tidak memberikan dana, serta mengimbau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memberhentikan (stop) perizinan Vaksin Nusantara.

Baca Juga: Jika Kamu Termasuk 12 Kriteria Berikut, Tandanya Tak Bisa Lakukan Vaksin Covid-19

"(Vaksin Nusantara sebaiknya) tidak didanai oleh pemerintah dan dihentikan oleh BPOM bila ada aturan yang tidak sesuai," kata Pandu Riono selaku Epidemiolog Universitas Indonesia kepada Kompas.com, Sabtu (20/2/2021).

Sebagai informasi, Vaksin Nusantara yang diinisiasi mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto memulai tahap uji klinis kedua di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Kariadi Semarang, Selasa (16/2/2021).

Penelitian ini dilaksanakan di RS Kariadi Semarang bekerjasama dengan RSPAD Gatot Subroto dan Balitbangkes Kementerian Kesehatan.

Berikut alasan para ahli menentang pemerintah mendanai dan meminta BPOM memberhentikan izin Vaksin Nusantara ini:

1. Mengandung sel dendritik

Seperti dilaporkan Kompas TV, Selasa (16/2/2021), Terawan menjelaskan bahwa vaksin Nusantara menggunakan bahan serum darah dari masing-masing individu.

Vaksin Nusantara ini merupakan vaksin personal berbasis sel dendritik (dendritic cell).

Menurut Pandu, Vaksin Nusantara yang mengandung vaksin dendritik, sebelumnya banyak digunakan untuk terapi pada pasien kanker, yang merupakan terapi yang bersifat individual.

Baca Juga: Program Vaksinasi Covid-19 Tetap Berjalan di Bulan Ramadan, Satgas Jawa Timur Sebut Meski Sudah Divaksin Belum Tentu Tidak Terpapar Virus Corona, Begini Penjelasannya

Nah, vaksin dendritik tersebut diberikan untuk imunoterapi kanker, bukan karena setiap orang diberi jumlah sel dendritik, tetapi karena setiap orang sel dendritiknya bisa mendapatkan perlakuan yang berbeda-beda.

Dalam hal ini, kata Pandu, yang disesuaikan adalah perlakuan terhadap sel dendritik tersebut.

"Jadi pada imunoterapi kanker, sel dendritik tetap diberi antigen, tetapi antigennya bisa dari tumornya dia sendiri. Karena itu sifatnya personal," kata Pandu.

Dua hal yang harus Anda ketahui terkait perbedaan sel dendritik pada terapi kanker dengan vaksin dendritik:

Pertama, beda perlakuan.

Untuk terapi kanker sel dendritik ditambahkan antigen tumor atau kankernya, dan diisolasi dari darah pasien untuk kemudian disuntikkan kembali kepada pasien tersebut.

"Sementara, pada vaksin, sel dendritik ditambahkan antigen virus," jelasnya.

Kedua, perlu pelayanan medis.

Dijelaskan Pandu, sel dendritik perlu pelayanan medis khusus karena membutuhkan peralatan canggih, ruang steril, dan inkubator CO2, dan adanya potensi risiko.

Baca Juga: Siap-siap, Tahap II Segera Dilaksanakan, Warga yang Tolak Vaksin Covid-19 Bakal Dipersulit dalam Mengurus KTP dan SIM

Potensi risiko yang sangat besar bisa terjadi seperti sterilitas, pirogen atau ikutnya mikroba yang menyebabkan infeksi dan tidak terstandar potensi vaksin, karena pembuatan individual.

"Jadi, sebenarnya sel deindritik untuk terapi bersifat individual, dikembangkan untuk terapi kanker. Sehingga tidak layak untuk vaksinasi massal," tegas Pandu.

2. Belum jelas data uji klinis

Pada kesempatan yang berbeda, Ahli Biomolekuler dan Vaksinolog, Ines Atmosukarto berpandangan bahwa vaksin Nusantara datanya diduga belum terlihat.

Data uji klinis I belum terlihat dan belum di-update ke data uji klinis global.

"Seharusnya tercatat semua di situ, terakhir saya cek belum ada update hasil uji klinisnya.

Apakah vaksin tersebut aman, datanya belum aman," kata Ines.

Menurut Ines, ada prosedur yang harus dilewati, yakni mendapat izin dari Komite Etik, setiap protokol uji klinis dapat izin dari mereka.

Baca Juga: Calon Istri Terpapar Covid-19 Jelang Pernikahan, Atta Halilintar Kirim Video Ini Untuk Aurel Hermansyah Sebagai Penawar Rindu

"Yang perlu dicari Komisi Etik mana yang mengizinkan ini, apakah mereka sudah mendapatkan data yang lengkap," tanya Ines.

Oleh karena itu, Pandu Riono meminta Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin untuk menghentikan vaksin Nusantara demi kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia.

"Itu kan menggunakan anggaran pemerintah (Kemenkes) atas kuasa pak Terawan sewaktu menjabat Menkes," tegasnya.

Menurut Survei, Ini Alasan Utama 41 Persen Orang Indonesia Tidak Mau Divaksin Covid-19

Dilansir dari Tribunnews.com, Indikator Politik Indonesia mencatat 41 persen masyarakat Indonesia tidak atau kurang bersedia divaksin vaksin Covid-19.

Masyarakat masih memiliki ketakutan akan tingkat keamanan dari vaksin.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi saat merilis secara virtual hasil survei Indikator: ‘Siapa Enggan Divaksin? Tantangan dan Problem Vaksinasi Covid-19,’ Minggu (21/2/2021).

Baca Juga: Kondisi Ashanty Memburuk, Istri Anang Hermansyah Kini Dilarikan ke Rumah Sakit Untuk Dapatkan Perawatan Intensif

“Dari 41 persen orang yang nggak bersedia divaksin tadi itu, 54 persennnya, lebih dari separuh, merasa vaksin itu efek sampingnya mungkin masih ada yang belum ditemukan atau tidak aman,” ujarnya.

“Kenapa mereka kurang bersedia? Karena vaksin dianggap punya efek samping yang belum kelihatan sekarang,” jelasnya.

Kemudian survei menunjukkan masyarakat menilai vaksin itu tidak efektif.

Ada 27 persen masyarakat memberikan alasan tersebut ketika ditanya mengenai kenapa tidak atau kurang bersedia divaksin.

Sebanyak 23,8 persen masyarakat beranggapan dirinya tidak membutuhkan vaksin tersebut karena merasa badannya sehat.

Adapula masyarakat tidak bersedia divaksin karena tidak mau membayar untuk dapat vaksin Covid-19.

“Sebanya 17,3 persen masih ada yang beranggapan aksin itu tidak digratiskan,” ucapnya.

Baca Juga: Umumkan Istrinya Positif Covid-19, Arief Muhammad Sebut Tipang Tak Pernah Keluar Rumah: Malah Apes...

Kemudian ada juga masyarakat yang menjawab vaksin mungkin tidak halal, jumlahnya 10,4 persen.

Adapula yang beranggapan (5,9 persen) drinya tidak perlu divaksin, karena ada banyak orang akan mendapat vaksin.

“Adapula yang menjawab, saya tidak mau masuk persengkong-kolan perusahaan farmasi yang membuat vaksin.”

Kemudian kata dia, ada 11 persen masyarakat yang menjawab hal yang lain.

Atas semua alasan itu, dia menilai pemerintah harus menjelaskan vaksin Covid itu tidak punya efek samping yang berbahaya dan alasan lainnya.

Sehingga nantinya bisa tercapai herd immunity.

Indikator Politik Indonesia melakukan survei ini pada 1 hingga 3 Februari 2021, dengan 1.200 responden menggunakan metode simple random sampling.

Baca Juga: Ada 3 Jenis, Ternyata Begini Penggunaan Masker yang Benar Menurut Satgas Covid-19, Jangan Salah Lagi

Adapun toleransi kesalahan atau margin of error sebesar kurang lebih 2,9 persen.

Sampel responden berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional, dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Dengan situasi pandemi Covid-19, Indikator Politik Indonesia melaksanakan survei dengan kontak telepon kepada responden.

Melalui temuan ini, menurut dia, terjadi mis-informasi di tengah masyarakat. Untuk itu ini adalah kerja bersama semua pihak untuk memberikan informasi yang tepat seputar Covid-19.

(*)

Tag

Editor : Ruhil Yumna

Sumber tribunnews, Kompas