Melanggengkan Sistem Kerja Alih Daya, Peneliti LIPI Soroti Pasal 66 UU Cipta Kerja: Outsourcing Boleh Dimana saja

Kamis, 08 Oktober 2020 | 07:30
Instagram @makassar_iinfo

Viral aksi mikrofon mati dalam rapat paripurna pengesahan RUU Ciptaker

GridHype.ID - Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mendapatkan respon yang cukup besar dari publik.

Di media sosial terus ramai memperbincangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Banyak yang melakukan perlawanan dengan membuat tagar hingga aksi demonstrasi untuk memprotes DPR dan pemerintah.

Seperti yang diketahui, pada Senin (5/10/2020) Rapat Paripurna DPR telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU).

Baca Juga: Ramai Ditolak Banyak Pihak, Wajib Tahu Bedanya UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan Ini!

UU Cipta Kerja yang juga sering disebut Omnibus Law diajukan pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan investasi yang selama ini menghambat kinerja perekonomian nasional.

Reaksi pro dan kontra sontak merebak begitu palu diketok oleh Ketua DPR Puan Maharani dalam Rapat Paripurna menyepakati RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU Cipta Kerja.

Salah satunya, disampaikan oleh Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fathimah Fildzah Izzati.

Fathimah mengatakan, bahwa Pasal 66 Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja akan melanggengkan sistem kerja alih daya.

Baca Juga: Gelombang Penolakan Masih Terus Berlanjut, Kira-kira Bisakah UU Cipta Kerja Dibatalkan?

Fildzah mengatakan, penerapan sistem kerja alih daya (outsourcing) sebelumnya dibatasi dengan Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa outsourcing hanya boleh dilakukan untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

"Tapi di RUU Cipta Kerja tidak ada lagi pengaturan (batas) seperti itu. Jadi artinya di UU 13/2003 saja yang ada peraturan tidak boleh di inti kegiatan (core) produksi masih banyak dilanggar, sistem kerja outsourcing ini diterapkan di semua lini, apalagi kalau di RUU Cipta Kerja ini, outsourcing atau alih daya itu tidak ditetapkan atau boleh dimana saja, begitu. Jadi benar-benar dilanggengkan," kata Fildzah saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu (7/10/2020).

Baca Juga: Fahri Hamzah Protes Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja, Investor Asing Ikut Kritik

Ia mengatakan, adanya konsekuensi tersebut berdasarkan draf terakhir RUU Cipta Kerja yang diterimanya pada 5 Oktober 2020.

Kendati demikian, menurut Fildzah, konsekuensi menjadi logis, mengingat RUU Cipta Kerja memiliki ruh untuk menciptakan iklim investasi yang ramah investor agar terciptanya lapangan kerja.

"Logika UU itu memang adalah untuk menciptakan iklim yang ramah investasi. Nah, konsekuensi logis dari penciptaan iklim yang ramah investasi itu kan ada beberapa hal: Pertama, mempermudah izin investasi, misalnya mempermudah prosedur-prosedur seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan lain-lain. Kedua, mengurangi biaya tenaga kerja tadi," kata Fildzah.

Baca Juga: Timbulkan Gelombang Penolakan dari Berbagai Lapisan Masyarakat, Ini Pasal-pasal Kontroversial dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja

Pengamat: UU Cipta Kerja jamin kepastian hukum bagi tenaga kerja

Sementara itu pengamat ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Muhammad Handry Imansyah menilai, persetujuan UU Cipta Kerja bisa memberikan kepastian hukum dalam rekrutmen tenaga kerja dan pengembangan produktivitas para tenaga kerja melalui berbagai pelatihan.

"Terdapat pasal mengenai jaminan pelatihan kerja bagi tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan untuk pekerja yang ikut BPJS tenaga kerja yang membayar iuran," kata Handry dalam pernyataan di Jakarta, Rabu (7/10/2020).

Handry juga menyoroti terkait informasi bahwa UU Cipta Kerja telah menghapus ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).

Baca Juga: Pantas Terjadi Gelombang Penolakan RUU Cipta Kerja, 4 Hal Ini Bakal Jadi Ancaman Para Pekerja Kantoran Jika Disahkan DPR

Ketentuan UMK dan UMSK sebelumnya diatur di Pasal 89 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menurut dia, upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota masih tetap ada dengan regulasi terkait ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi/bupati/wali kota.

"Kenaikan upah tiap tahun juga berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, dan jika memang ada perbedaan angka dapat diselesaikan dengan negosiasi seperti yang sudah berlaku," kata Handry.

Selain itu, ia mengatakan, ketentuan soal pesangon juga diatur lebih detail dengan rincian antara lain kerja kurang dari satu tahun dapat satu bulan gaji dan lebih dari satu tahun dapat dua bulan gaji.

Baca Juga: Angkat Bicara Soal Kisruh Omnibus Law UU Cipta Kerja, Krisdayanti Pamer Foto di Gedung DPR : Tidak Ada Niat Memanjakan Pengusaha

Untuk menghindari perdebatan, Handry juga meminta DPR dan pemerintah agar lebih rinci dalam membuat peraturan turunan terkait klaster ketenagakerjaan sehingga tidak multi tafsir dan melahirkan penolakan dari buruh.

Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR pada Senin (5/10/2020) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU).

UU Cipta Kerja yang juga sering disebut Omnibus Law diajukan pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan investasi yang selama ini masih menghambat kinerja perekonomian nasional.

Baca Juga: Naik hingga Puluhan Juta, Berikut Daftar Harta Kekayaan Mulan Jameela Sebelum dan Sesudah Jadi Anggota DPR RI

UU ini terdiri dari 15 Bab dan 174 pasal yang secara garis besar mencakup peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan perizinan, perlindungan dan pemberdayaan UMKM dan koperasi, dan ketenagakerjaan.

Peraturan ini juga mengakomodasi mengenai riset dan inovasi, kemudahan berusaha, pengadaan lahan, kawasan ekonomi, investasi pemerintah dan Proyek Strategis Nasional, dukungan administrasi pemerintahan serta sanksi.

Meski demikian, RUU ini sempat mendapatkan pertentangan dari sebagian masyarakat maupun buruh, karena dianggap hanya menguntungkan para pengusaha, dapat menggusur masyarakat adat dan berpotensi mengganggu lingkungan dan kelestarian alam.

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Soroti Pasal 66 UU Cipta Kerja, Peneliti LIPI: Jadi Outsourcing Benar-benar Dillanggengkan

(*)

Tag

Editor : Nailul Iffah

Sumber Wartakotalive