Mengintip Pulau Terpencil di Dunia, Dimana Virus Corona Tak Ditemukan di Sana

Jumat, 02 Oktober 2020 | 11:00
Kolase Gridhype.id

Pulau Tristan

Gridhype.id-Hampir seluruh wilayah di bumi tengah menghadapi pandemi Covid-19.

Seluruh negara yang ada di Benua Asia bahkan dilaporkan telah terjangkit virus Covid-19.

Namun ada satu tempat di belahan bumi ini yang tidak terjamah virus mematikan Covid-19.

Tempat ini merupakan sebuah pulau terpencil di dunia, yakni Pulau Tristan da Cunha atau yang biasa juga disebut TDC oleh penduduk setempat.

Pulau ini bukanlah pulau bagi orang penakut. Dibutuhkan keberanian yang luar biasa untuk ke dan tinggal di sana.

Baca Juga: Kisah Wanita yang Terdampar Bersama 31 Pria Selama Bertahun-Tahun di Sebuah Pulau, Awalnya Diperlakukan Sebagai Ratu Namun Endingnya Justru Mengerikan

Jika kamu ingin melihat sendiri pulau berpenghuni yang paling terpencil di dunia, berikut caranya:

  • Terbang ke Cape Town, ibu kota Afrika Selatan
  • Lalu menumpang perahu layar untuk menyeberangi Samudera Atlantik Selatan
  • Terus berlayar selama 18 hari mengarungi gelombang laut yang paling ganas di planet Bumi, berharap untuk dapat beristirahat dalam kabut, dan melihat sekilas pulau-pulau utama yang mengesankan
  • Saat mendekat ke pulau, berdoalah agar angin reda dalam waktu yang cukup lama sehingga bisa berlabuh dan turun dari kapal.
  • Kemudian, segera tarik perahu keluar dari air sebelum ombak menghantam kapal ke bebatuan, atau lambaikan tangan - mungkin orang lain akan melihat dan menjemput Anda
  • Akhirnya Anda tiba dan sambutlah Edinburgh of the Seven Seas, ibu kota Tristan da Cunha (dan satu-satunya pemukiman) di sana.
Baca Juga: Banyak Dimakan Orang Indonesia, Kangkung Justru Jadi Sayuran Terlarang di Amerika Serikat Karena Dianggap Berbahaya

Selain itu, memang ada cara lain yaitu menggunakan perahu "cepat": hanya enam hari perjalanan dengan Kapal SA Agulhas - tapi masalahnya adalah kapal itu hanya sekali setahun mengarungi perjalanan sejauh 2.810 kilometer, ditambah lagi ruangan dalam kapal sangat terbatas.

Atau, Anda bisa menumpang ke salah satu dari sedikit kapal penangkap ikan yang datang dan pergi.

Tidak ada akses pesawat terbang ke sana. Begitulah sulitnya menuju atau meninggalkan Tristan de Cunha.

(PENGUINS-AND-POTATOES.CO.UK via BBC INDONESIA)
(PENGUINS-AND-POTATOES.CO.UK via BBC INDONESIA)

Satu-satunya bar di Pulau Tristan da Cunha.

Baca Juga: Catat! 10 Makanan dan Minuman ini Tidak Boleh Dipanaskan dengan Microwave, Sebab Bisa Berubah Jadi Racun

"Rekan seumur hidup"

Total penduduk yang hidup di Tristan da Cunha adalah 245 jiwa (133 perempuan dan 112 pria - berdasarkan hitungan terakhir).

Mereka tinggal di sebuah pemukiman yang bernama Edinburgh of the Seven Seas.

Pemukiman ini memiliki kafe, aula acara sosial, kantor pos, dan pub bernama The Albatross. Ada juga rumah sakit kecil yang cukup modern dan sekolah yang kecil.

"Kecuali jika meninggalkan pulau, Anda akan segera menyadari bahwa teman di sekolah waktu kecil adalah teman bersama hingga tua dan selama sisa hidup Anda," Alasdair Wyllie, yang sampai saat ini tinggal dan bekerja di sana sebagai penasihat pertanian kepada BBC.

(GOOGLE via BBC INDONESIA)
(GOOGLE via BBC INDONESIA)

Sejak Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, lalu lintas yang lewat Tristan da Cunha hampir tidak ada.

Di sini juga kemungkinan besar Anda akan bertemu dengan pasangan, bahkan jauh sebelum Anda memikirkan sebuah pernikahan.

Mungkin tidak mengherankan, jika Anda seorang Tristanian, sebutan untuk penduduk lokal, kemungkinan besar Anda akan bangga menjadi keturunan salah satu dari enam nama keluarga di pulau utama: Lavarello, Repetto, Rogers, Swain, Green atau Glass.

Hanya ada dua orang penduduk yang tidak lahir di pulau ini, yaitu seorang pria dan seorang perempuan yang bertahun-tahun lalu menikah dengan penduduk pulau dan memutuskan untuk tinggal bersama keluarga baru mereka.

Ada juga seorang dokter dan guru yang datang dan pergi bergantian dari Inggris, karena pulau ini masuk dalam Wilayah Luar Negeri Inggris.

Baca Juga: Selama ini Keliru, Ternyata Beras Putih Justru Lebih Sehat Daripada Beras Merah

(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)
(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)

TDC adalah salah satu gunung berapi raksasa - dengan Puncak Queen Marys - yang terakhir kali meletus pada tahun 1961

Hiburan: Anda bisa mendengar "rumput tumbuh"

"Sangat sepi di sini, bahkan Anda bisa mendengar rumput tumbuh," kata Harold, yang mencintai kedamaian dan ketenangan kampungnya.

Dan di sini sangat aman, bahkan "tidak ada kunci," tambahnya.

(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)
(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)

Keluarga Green pada tahun 1961, di luar rumah mereka - setelah gunung berapi meletus, penduduk setempat berhenti menggunakan atap jerami.

Tetapi, koneksi internet di pulau ini "buruk atau bahkan sangat buruk!".

Walaupun ada satu sisi positifnya, yaitu semua panggilan ke luar negeri - saat telepon berfungsi - gratis.

Kemudian terdapat juga sebuah jalan yang membawa Anda untuk mengelilingi pinggir pulau sekitar tiga kilometer guna melihat rangkaian ladang kecil yang terlindungi dinding batu dari hembusan angin kencang.

Baca Juga: Selama ini Keliru, Ternyata Beras Putih Justru Lebih Sehat Daripada Beras Merah

(ALASDAIR WYLLIE via BBC INDONESIA)
(ALASDAIR WYLLIE via BBC INDONESIA)

Dinding batu tua menahan angin di ladang Pulau Tristan dan Cunha.

Di ladang itu, masyarakat biasanya menanam beberapa sayuran walaupun "kebanyakan kentang," kata seorang mantan penduduk, "dan di musim panas kita bisa pergi ke sana dan menikmati sedikit liburan 'ke luar kota'."

Hiburan kesukaan di sana adalah pesta barbekyu atau disebut braai - sebuah pengaruh dari Afrika Selatan yang lokasinya paling dekat - dan kesempatan terbaik mengelola hasil ternak lokal.

Bermain alat musik dan bernyanyi bersama-sama pernah menjadi kehidupan utama masyarakat pulau, tetapi "saat ini kebanyakan mereka lebih suka menghabiskan waktu luang di depan layar," kata Alasdair.

Ada juga pilihan untuk melakukan pendakian dan menikmati keindahan alam di sekitar pulau - yang lebarnya tidak lebih dari 10 kilometer - dan juga bisa menikmati lembah curam dan pegunungan terjal yang berada di 2.062 meter di atas permukaan laut.

Nyatanya, hampir tidak ada daerah landai di sini.

Dinding batu terjal yang berhadapan langsung dengan serangan ombak laut lepas membentang luas mengelilingi lebih dari dua pertiga garis keliling pulau itu.

"Tempat yang indah, tapi bukan surga"

Pulau Tristan da Cunha, atau bisa disebut Tristan adalah pulau utama dari susunan kepulauan vulkanis yang berlokasi di Samudera Atlantik Selatan itu.

Terdapat satu pulau bernama Nightingale yang menjadi tempat favorit orang Tristan untuk liburan dan berenang karena tidak terlalu berbahaya - arus tidak terlalu kuat dan rendah ancaman dari hiu.

Baca Juga: Kisah Natalie Poole dan Rekannya, Terjebak di Pulau Terpencil Selama 2 Bulan Akibat Lockdown, Harus Hidup Berdampingan dengan Hewan Liar dan Kelaparan

(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)
(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)

Inaccessible Island di Pulau Tristan da Cunha.

Lalu, ada Pulau Inaccessible atau tidak dapat diakses dan Pulau Gough yang berbatu, tempat Afrika Selatan mendirikan pusat stasiun cuaca dan menempatkan beberapa ahli meteorologi yang dirotasi tahunan.

"Ada kecenderungan untuk meromantisasi kehidupan pulau," kata Alasdair, tetapi Anda melakukannya atas risiko Anda sendiri, "Memang tempat yang indah, tapi bukan surga."

(PENGUINS-AND-POTATOES.CO.UK via BBC INDONESIA)
(PENGUINS-AND-POTATOES.CO.UK via BBC INDONESIA)

Penguin rockhopper utara menyukai pesisir terjal Tristan da Cunha.

Pulau yang sunyi: "Ribuan burung tak berkicau"

Selain desiran angin dan suara sapi aneh yang meraung di pulau utama, Anda tidak dapat mendengar suara lain di sini.

Satu hal yang mencolok tentang kepulauan ini adalah Anda dapat dikelilingi oleh ribuan burung ke mana pun Anda pergi… namun tidak pernah mendengar satu pun dari mereka berkicau.

(BRIAN GRATWICKE via BBC INDONESIA)
(BRIAN GRATWICKE via BBC INDONESIA)

Burung terkecil yang tidak bisa terbang di Bumi di Pulau Inaccessible.

"Sebuah ironi, begitu banyak burung namun tidak ada kicau burung," kata Alasdair, yang menyebut blognya penguins-and-potatoes.co.uk, untuk menghormati penguin rockhopper yang tak terhitung jumlahnya di pulau itu. Kurangnya predator juga berarti bahwa beberapa burung menjadi tidak dapat terbang, seperti Pulau Inaccessible, salah satu dari banyak spesies endemik khas kepulauan.

Tidak ada buah dan sayuran, tapi banyak lobster

Tinggal di pulau paling terpencil di dunia itu membuat Anda tidak perlu melakukan isolasi - karena letak geografi telah melakukannya dengan baik.

Tapi "walaupun tidak ada Covid-19 di pulau bukan berarti kami tidak terkena pandemi," kata penduduk Fiona Kilpatrick.

Lockdown di Afrika Selatan membuat kapal yang biasanya membawa barang ke pulau tersebut tidak dapat meninggalkan dermaga di Cape Town.

"Rantai pasokan menjadi sangat terdampak akibat Covid," kata Alasdair, yang masih sering menghubungi bekas tetangganya.

"Mereka sudah lama kehabisan buah dan sayuran," tambahnya, "Hal ini biasa terjadi, tetapi kali ini, siapa yang tahu kapan pasokan segar akan dikirimkan dengan situasi saat ini."

Yang selalu berlimpah di sini adalah lobster Tristan, spesies lobster lokal batu air dingin yang ditangkap dan dibekukan oleh penduduk pulau, dan bila dapat diekspor, menyumbang 70 persen pendapatan TDC.

(PENGUINS-AND-POTATOES.CO.UK via BBC INDONESIA)
(PENGUINS-AND-POTATOES.CO.UK via BBC INDONESIA)

Para pemukim pertama tiba di Tristan pada tahun 1800-an, dan banyak orang masih menggunakan nama belakang mereka.

Kelahiran seorang bayi

Tetapi yang lebih dramatis, efek samping yang tak terduga dari dampak Covid-19 di Tristan da Cunha adalah kelahiran bayi di pulau itu untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun.

"Sebelumnya, untuk menghindari komplikasi, wanita biasanya melakukan perjalanan ke Afrika Selatan sebelum waktunya untuk melahirkan. Tetapi dengan penutupan Afrika Selatan dan komunikasi dihentikan, bayi tersebut harus dilahirkan di Tristan," kata Alasdair.

Kondisi ibu dan anaknya sehat. Penduduk setempat sangat senang menyambut penghuni baru pulau itu.

Pemukim pertama Tristan tiba pada awal 1800-an, dan meskipun populasinya berfluktuasi sejak itu, dalam beberapa dekade terakhir jumlahnya terus menurun.

"Selama saya tinggal di sana, 15 orang meninggal karena usia tua, tetapi hanya dua yang lahir," kata Alasdair.

"Dengan populasi yang menua dan jumlah yang menyusut, kelahiran ini adalah peristiwa yang sangat bagus."

(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)
(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)

Ketika penjelajah Portugis Tristão da Cunha berlayar melewatinya pada tahun 1506, laut yang ganas mencegahnya untuk berlabuh, tetapi dia menamai pulau-pulau itu dengan namanya.

Lalu ada kabar baik lagi yaitu, "Dari tiga gadis yang dikirim ke Inggris untuk menyelesaikan sekolah menengah, salah satunya akan melanjutkan ke pendidikan tinggi," kata Alasdair.

Ini akan menjadikannya sebagai perempuan muda pertama di pulau itu yang kuliah ke universitas (meskipun sebelumnya ada seorang Tristanian lulus melalui pembelajaran jarak jauh).

Jika Anda menghargai keterpencilan dan Anda mungkin tergoda untuk pindah ke sana, berhati-hatilah karena kemungkinan besar Anda tidak akan berhasil.

"Majelis Pulau Tristan harus menyetujui siapa pun yang ingin pindah ke sana secara permanen," kata Alasdair, "dan sebagian besar pelamar biasanya ditolak."Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Pulau Paling Terpencil di Dunia, Tak Terjamah Virus Corona dan Bisa Dengar Suara Rumput". (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Pulau Paling Terpencil di Dunia, Tak Terjamah Virus Corona dan Bisa Dengar Suara Rumput"

Editor : Ngesti Sekar Dewi

Sumber : Kompas.com