Saking Tingginya Gugatan Cerai di Jawa Barat, Pengadilan Harus Tutup Sementara Selama 2 Minggu, Begini Tanggapan Pakar

Jumat, 28 Agustus 2020 | 13:00
Dmytro Sheremeta/Freepik

Ilustrasi perceraian.

GridHype.ID - Tingkat perceraiandi Kabupaten Bandung, Jawa Barat dikabarkan meningkat sejak pandemi corona.

Hal ini terlihat dariantrean mengular warga yang mengajukan cerai di KUA Soreang, Kabupaten Bandung hingga baru-baru ini viral di media sosial.

Melansir dari Kompas.com (26/8/2020), Panitera Muda Pengadilan Agama Soreang, Ahmad Sadikin mengatakan sejak pandemi pada Maret 2020, angka perceraian sangat tinggi.

Bahkan saking tingginya yang menggugat cerai, pihaknya terpaksa menutup sementara pendaftaran gugatan cerai ada Mei selama dua minggu.

Baca Juga: Bak Antre Sembako, di Bandung Ramai Orang Ajukan Cerai Dalam Sehari Sampai 150 Gugatan

Diketahui, umumnya gugatan cerai yang diminta berkisar 700 sampai 800 kasus.

Namun, pada Juni 2020, jumlah gugatan cerai melampaui angka 1.012 kasus.

KOMPAS.COM

Suasana antrean perceraian yang tampak mengular di Pengadilan Agama, Bandung tiba-tiba viral. Sehari melayani 150 gugatan.

Lantas, apa yang menyebabkan suatu pasangan memilih untuk bercerai di tengah pandemi corona?

Pengajar Studi Antropologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung Budi Rajab mengungkapkan ada sejumlah faktor yang mendasari adanya sebuah perceraian.

Baca Juga: Mana yang Benar, Mencuci Daging Ayam Terlebih Dahulu Atau Langsung Disimpa? Jangan Sampai Salah Kaprah ya

Salah satunya yakni dari sisi ekonomi. "Yang menjadi penyebab adalah Covid-19 dan masalah ekonomi dari pihak suami," ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (26/8/2020).

Ia menambahkan, jika pihak perempuan atau istri meminta cerai, diduga karena tidak adanya kejelasan pekerjaan dari kepala keluarga atau si suami.

Menurutnya, faktor lain yang mendasari suatu pasangan memilih untuk bercerai karena ada keberanian dari pihak istri untuk lebih bersuara.

"Ada keberanian dari pihak istri untuk lebih bersuara dan mandiri secara ekonomi. Perlu diperhatikan, kemandirian ekonomi keluarga yang berpusat pada perempuan, ekonominya harus menguat dan diperkuat," lanjut dia.

Baca Juga: Angin Segar di Tengah Pandemi, Pemerintah Sebut Bakal Berikan Subsidi Gaji Bagi Pegawai Honorer, Simak Besarannya!

Terkait kemandirian ekonomi, Budi menjelaskan, tindakan ini biasa ditandai dengan adanya pemberdayaan ekonomi.

Jadi, tidak hanya kepada kaum laki-laki atau pihak suami saja selaku kepala keluarga yang diberdayakan atau yang menerima bantuan ekonomi dari pemerintah.

Dengan begitu, perempuan harus mendapatkan pekerjaan yang upahnya lebih layak, supaya istri juga dapat memimpin keluarga.

Persoalan di kelas menengah bawah

Sementara itu, Budi menyampaikan, persoalan terkait perceraian suatu pasangan dapat terjadi pada masyarakat ekonomi kelas menengah bawah.

Baca Juga: 4 Bulan Jadi Duda Usai Bercerai dari Laudya Cynthia Bella, Penampilan Terbaru Engku Emran Disebut Seperti Kriminal

Hal ini juga didorong dengan faktor pekerjaan kepala keluarga yang belum tetap atau serabutan.

Kendati demikian, program-program pemerintah yang saat ini tengah direncanakan sebaiknya tidak hanya menyasar pada kepala keluarga laki-laki, namun juga kepada kepala keluarga perempuan.

"Jangan melulu soal kepala keluarga lak-laki yang harus mendapat program bantuan. Bagaimana dengan perempuan yang dianggap sebagai kepala keluarga. Itu diskriminatif," katanya lagi.

Ia menyampaikan, saat ini tingkat perceraian tinggi dan bagaimanapun tindakan perceraian tentu merugikan pihak istri atau perempuan.

Baca Juga: Bak Disambar Gledek di Siang Hari, Mbah Mijan Peringatkan Rumah Tangga Pendangdut yang Sudah Tiga Kali Kawin Cerai : Ini Warning Lumayan Bahaya!

"Sebaiknya sekarang bantuan pemerintah jangan hanya Rp 600.000 itu saja, tapi perempuan juga memperoleh, jangan cuma kepala keluarga saja," lanjut dia.

Selain itu, Budi mengungkapkan bahwa dulunya kasus gugatan perceraian diajukan oleh pihak pria atau suami.

Ia menimbang, bahwa jika pada keluarga justru istri yang meminta cerai, maka mereka sudah siap bercerai.

Budi mengungkapkan, angka perceraian akan terus bertambah jika persoalan ekonomi tidak diselesaikan.

Baca Juga: Tak Hanya Jago Sepak Bola, Mantan Anggota Timnas yang Digosipkan Selingkuh Ini Kini Jualan Bakso Demi Sambung Hidup

Komitmen dalam pernikahan

Sementara itu, diberitakan Kompas.com (25/6/2020), psikolog Personal Growth, Gracia Ivonika mengungkapkan faktor pemicu pasangan memilih untuk bercerai perlu dilihat dari berbagai aspek.

Pertama, dari aspek masing-masing individu yakni seberapa masing-masing individu sudah siap dan matang secara usia dan psikologis untuk menjalani kehidupan pernikahan, juga isu-isu personal lainnya.

Selain itu, bagaimana suatu pasangan mampu untuk bekerja sama sebagai partner hidup, berkompromi menerima satu sama lain, dan menjalani komitmen dalam pernikahan.

Baca Juga: Pria Ini Bawa Uang Rp 4,9 Miliar Usai Merantau Dua Bulan, Istrinya Syok hingga Gugat Cerai saat Tahu Pekerjaan Asli Suaminya

Kedua, dilihat dari faktor-faktor kehidupan lain yang berpengaruh dalam pernikahan, seperti faktor ekonomi dan pekerjaan, faktor relasi dengan keluarga, dan faktor pengaruh keluarga besar, faktor agama dan budaya.

"Yang menjadi tantangan adalah muncul konflik-konflik dalam pernikahan," kata Gracia.

"Keutuhan rumah tangga akan tetap terjaga bila pasangan mampu secara terbuka mengkomunikasikannya bersama dengan tenang, tanpa saling menghakimi, melainkan saling mengutarakan dan mendengarkan perasaan/pendapat satu sama lain, kemudian mencari jalan tengah/kesepakatan bersama," imbuhnya.

Terkait dengan tindakan untuk menghindarkan suatu hubungan dalam perceraian salah satunya terkait dengan persiapan mental dan komitmen dalam menjalin rumah tangga.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Ramai soal Antrean Daftar Gugat Cerai di Jabar, Apa yang Terjadi?

(*)

Editor : Linda Fitria

Sumber : KOMPAS.com

Baca Lainnya