Angka Kematian di Indonesia Tinggi, Dokter Spesialis Paru Buka Suara! Alat Rapid Test Tidak Terlalu Efektif?

Jumat, 10 April 2020 | 20:15
YouTube.com/Deddy Corbuzier

Dr. Erlina Burhan

GridHype.ID - Sejak virus corona mewabah di Indonesia banyak orang menjadi resah dan khawatir.

Bagaimana tidak, setipa harinya jumlah pasien positif virus corona terus meningkat.

Ya, hingga berita ini ditulis, jumlah pasien positif corona di negara kita telah mencapai angka 3,293 kasus.

Baca Juga: Mendadak Hapus Video Podcast karena Permintaan Ria Ricis, Deddy Corbuzier: Terpaksa Saya Hapus

Sementara itu angka kesembuhan berada di 252 dan yang meninggal ada 280 orang.

Perbandingan angka antara mereka yang sembuh dan meninggal ini sering jadi perhatian masyarakat luas.

Pasalnya, Indonesia sempat jadi negara dengan fatality rate tertinggi, yakni 10 persen.

Baca Juga: Miris, Sudah Jadi Pejuang Garda Depan, Jenazah Perawat Positif Corona Ditolak Warga Semarang Saat Dimakamkan

Hal ini kemudian jadi pembahasan Deddy Corbuzier dengan dokter spesialis paru, Dr. Erlina Burhan dalam podcast terbarunya yang berjudul 'HEBOH VIRUS CORONA BISA REACTIVATED?! RAPID TEST TIDAK EFEKTIF?!' yang tayang pada Kamis (9/4/2020).

"Apakah ini virus sangat berbahaya sekali atau media saja yang membesar-besarkan?" tanya Deddy Corbuzier pada awalnya.

"Virus ini very infectious memang, mudah menular. Tapi itu bisa kita cegah. Obatnya memang tidak ada, tapi banyak orang yang sembuh sebetulnya. Kan data-data dari luar menyebutkan kematian antara 3, 4, 5 persen dan itu artinya-" jawab Dr. Erlina.

Baca Juga: Kalang Kabut 150 Anggota Kerajaan Positif Corona, Raja Salman dan Putra Mahkota Mengasingkan Diri

"Tapi di sini 10 persen, Dok?" potong Deddy saat itu juga.

"Nah, itu saya mau ngomong juga!" seru Dr. Erlina yang membuat keduanya tertawa.

Ternyata Dr. Erlina sendiri memiliki jawaban atas tingginya kematian di Indonesia.

Baca Juga: Kalang Kabut 150 Anggota Kerajaan Positif Corona, Raja Salman dan Putra Mahkota Mengasingkan Diri

Rupanya, Dr. Erlina dan beberapa dokter lainnya sempat tidak setuju dengan dijalankannya rapid test.

"Nah, kenapa 10 persen? Karena kita under detection, kita tidak cukup banyak mendeteksi. Jadi orang selalu pakai, contoh tuh Korea Selatan! Mereka tidak pembatasan, tapi mereka mendeteksi banyak banget. 15,000 per hari lo, deteksinya!" kata Dr. Erlina.

"Bukannya dokter yang sempat marah-marah di tv di mana-mana, yang mengatakan bahwa membeli rapid test itu buang-buang duit?" tanya Deddy Corbuzier yang sempat membuat Dr. Erlina terdiam.

Baca Juga: Cuci Tangan Jadi Salah Satu Langkah Cegah Tertular Virus Corona, Sayangnya Air Jadi Barang Langka di India

Kemudian Dr. Erlina menjelaskan bahwa tes yang dipakai oleh Korea Selatan bukan rapid test.

Melainkan mereka langsung melakukan tes swab atau PCR yang jauh lebih akurat dalam mendeteksi Covid-19.

"Lah, betul. Tapi di Korea itu orang bukan pakai rapid test, pake PCR (tes swab). Jadi menurut saya lebih baik PCR itu yang diperbanyak. Karena kita kan gak bisa selalu bikin drive thru ya, karena drive thru itu artinya pakai mobil itu untuk kelompok tertentu, gak, kita bikin posko saya bilang. Orang nyamperin, pelayanannya gratis, tinggal mangap doang, nanti diswab. Lalu kan nanti ada datanya, nanti dihubungi," ujarnya.

Baca Juga: Baru Lima Menit Belanja di Supermarket, Pria Ini Pulang Bawa Virus Corona untuk Keluarganya

"Tapi kalau seperti itu, artinya rapid test itu tidak berguna?" tanya Deddy Corbuzier.

"Kalau saya ditanya, dan teman-teman di perhimpunan, ini kalau saya bicara perhimpunan itu artinya organisasi profesi ya, dokter kan profesinya macam-macam tergantung spesialisasinya. Kita mengatakan ini kan kadung udah dibeli oleh pemerintah," jawab Dr. Erlina.

"Kalau kadung udah dibeli artinya dokter mengatakan tidak berguna dong?" cecar Deddy Corbuzier lagi.

Baca Juga: Waspada! Tak Tunjukkan Gejala Apapun Perempuan asal Solo Ini Dinyatakan Positif Virus Corona Usai Sering Merasa Haus

"Kalau saya pribadi dan perhimpunan sih, mengatakan lebih baik PCR yang diperbanyak dibanding rapid test serologi ini karena dia mendetect antibodi, dan antibodi itu terbentuk gak dari awal. Setelah di atas 7 hari atau setelah ada gejala. Dan kalau positif belum tentu Covid, bisa aja corona biasa," jelasnya lagi.

Jadi itu berarti rapid tes yang dijalankan saat ini tidak terlalu efektif dalam mendeteksi Covid-19.

Soalnya jika hasil rapid tes negatif, maka kemudian baru akan dites swab.

Baca Juga: Mulai Bangkit dan Ikhlas, Noah Sinclair Lakukan Kegiatan Ini di Tengah Pandemi Corona hingga Jadi Sorotan Netizen

Nah, menurut Dr. Erlina, tentu saja ini membuang-buang waktu dan juga uang sehingga seharusnya tes PCR yang berjalan sejak awal.

"Sekarang kan orang semua komplain hasil tesnya lama 7 hari, 10 hari, kenapa? Karena jumlah PCR-nya yang sedikit. Center yang bisa periksa sedikit. Tapi kalau center-nya diperbanyak, alatnya diperbanyak itu bisa cepat. Dan kalau cepat bisa dilakukan pemeriksaan yang cukup banyak, jadi kita tahu the real numbers, artinya yang ternyata meninggal sekarang sekian, tapi real numbers yang positif itu lebih banyak jadi gak 10 persen," jelasnya lagi.

Artikel ini telah tayang di GridFame.ID dengan judul Pantas Angka Kematian di Indonesia Tinggi! Dokter Spesialis Paru Ini Buka Tabirnya, Alat Rapid Test Kurang Efektif?(*)

Editor : Nailul Iffah

Sumber : gridfame.id

Baca Lainnya