Laporan Wartawan GridHype.ID, Ruhil I. Yumna
GridHype.ID- Banyak pekerjaan tak lazim yang ditemukan di Abad Pertengahan.
Pekerjaan yang mungkin sekarang dianggap aneh seperti pengumpul lintah, pembersih septik tank atau bahkan menjadi budak adalah sedikit pekerjaan yang bisa ditemukan di zaman itu.
Ada satu pekerjaan yang dianggap paling tabu di masa itu, yakni sebagai algojo.
Bak dewa kematian, di abad pertengahan peran mereka adalah mengambil nyawa seseorang.
Cara yang mereka lakukan untuk mengakhiri hidup seseorang pun bermacam-macam.
Mulai dari mencekik dengan tali, memenggal kepala korban, atau bahkan menusuknya.
Di zaman itu, pekerjaan ini tergolong sebagai pekerjaan paling kotor dan keji.
Di awal abad pertengahan dan berlanjut ke abad berikutnya, kejahatan dan pelanggaran hukum memnag sedang marak-maraknya terjadi di berbagai dunia.
Tak pandang bulu, kejahatan di masa itu bisa terjadi dimanapun dan kapanpun.
Pemerkosaan, pencurian, pembunuhan bak hal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Kendatipun begitu, keadilan dan kebenaran tetap harus ditegakkan.
Tak jarang demi memberi efek jera, para penegak hukum mempraktikkan hukuman yang cenderung kejam.
Hukuman yang kejam ini mungkin tak akan bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Maka mau tak mau harus ada sekumpulan orang khusus yang memang 'berdedikasi' untuk menjalankan pekerjaan kejam ini.
Ya, maka muncullah pekerjaan sebagai algojo.
Sejak tahun 1200-an, bangsa Eropa Barat dan Tengah semakin membutuhkan orang untuk mempraktikkan hukuman mati untuk mengendalikan kejahatan yang terjadi.
Kota-kota besar di dunia seperti Prancis, Jerman, dan Inggris bahkan beralasan jika algojo adalah kepanjangan tangan Tuhan untuk menegakkan keadilan di muka bumi.
Salah satu algojo yang sempat didokumentasikan kehidupannya berasal dari tahun 1202.
Saat itu kepala suku terkemuka bernama Nicolas Jouhanne ditunjuk sebagai vicomte atau algojo resmi kota Caux di Normandia.
Sejak itulah posisi ini menjadi sebuah jabatan resmi dan menyebar ke kota-kota besar di Eropa Barat.
Ada berbagai metode eksekusi korban yang dilakukan, kebanyakan menggunakan kapak, pedang, jerat atau garotte.
Sejarah mencatat jika algojo yang ragu-ragu dalam mengeksekusi korbannya hanya akan membuang waktu dan justru menyiksa.
Salah satu contohnya adalah eksekusi James Scott, Adipati Monmouth pertama, Adipati Buccleuch pertama, pada tahun 1685.
Ia dieksekusi oleh Jack Ketch yang terkenal kejam.
Ketch bukanlah algojo amatir, 'eksekusi gagal' yang biasa ia lakukan rupanya adalah sebuah kesengajaan.
Kesengajaan itu karena ia menikmati kesadisan yang ia lakukan.
Ketika Adipati Monmouth berada di blok kayu siap untuk dieksekusi, dia memohon agar eksekusi dilakukan dengan cepat.
Bahkan ia memberinya uang agar permintaanya itu dikabulkan.
Meski begitu, eksekusi itu tetap berjalan tersendat, hingga ayunan ke-8 kepalanya baru benar-benar putus.
Massa yang melihat itu tentu geram dengan kekejaman algojo itu.
Mereka berusaha menghukum mati sang algojo namun tak membuahkan hasil.
Kini kita tidak begitu memiliki gambaran akurat tentang algojo Abad Pertengahan.
Umumnya kita menganggap mereka mengenakan jubah misterius dan penuh rahasia.
Namun dalam kenyataannya, para algojo ini sangat kesulitan menutupi identitasnya.
Masyarakat sebagian besar telah tahu bahwa seseorang itu bekerja sebagai algojo.
Hal inilah yang menimbulkan diskriminasi pada algojo.
Pekerjaan mereka yang mengharuskannya mengakhiri kehidupan seseorang dianggap terlalu keji oleh masyarakat.
Meski masyarakat juga tahu bahwa pekerjaan ini semata-mata untuk menegakkan keadilan.
Di Abad Pertengahan para algojo ini harus tersingkir dari masyarakat dan hidup dengan pekerjaan rendah demi bisa menyambung hidupnya sendiri.
(*)