Tragedi Kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Saksi Mata ini Ceritakan Kengerian Pintu 13 dan 14 Seperti Kuburan Massal

Rabu, 05 Oktober 2022 | 13:00
TRIBUNNEWS.COM

Polisi menembakkan gas air mata ke arah suporter seusai laga Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022) malam.

GridHype.ID - Tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan menjadi nokhtah hitam persepakbolaan di Indonesia.

Tragedi ini terjadi setelah berakhirnya laga Arema FC dan Persebaya.

Banyak pihak menduga kekalahan Arema FC di kandang menjadi pemicunya.

Namun sayangnya, pihak keamanaan yang ceroboh menanggapi suporter yang turun ke lapangan berakibat fatal.

Bagaimana tidak, aparat menembakan gas air mata ke tribun penonton yang menyebabkan suporter Arema FC panik untuk menyelamatkan diri.

Nahasnya, kondisi kepanikan mencari jalan keluar dan berdesak-desakkan inilah menjadi pemicu korban jiwa.

Sejauh ini, pemerintah baru merilis 125 korban tewas, 13 diantaranya anak-anak.

Salah stau saksi mata, Dadang Indarto (40) warga Kelurahan Tembalangan Kota Malang, Jawa Timur, suara minta tolong selalu terngiang.

Melansir dari Kompas.com, suara itu berasal dari para korban tragedi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, salah satu insiden stadion paling mematikan di dunia dalam beberapa dekade terakhir.

Setidaknya 125 orang meninggal, lebih 320 lainnya luka-luka.

"Terdengar jeritan, tolong, tolong. Pandangan mata saya seolah-olah korban di depan mata. Baru semalam bisa tidur," kata Dadang kepada wartawan di Malang, Eko Widianto, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Baca Juga: Seperti Tragedi Kanjuruhan, Ini 4 Tragedi Dunia yang Disebabkan Oleh Gas Air Mata dan Kelalaian Polisi

Pria yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kota Batu ini menuturkan kisah horor dimulai tiga menit usai peluit panjang wasit, tanda pertandingan usai.

Ia bergegas keluar tribun, keluar melalui Pintu 13.

"Pintu ditutup, saya balik ke tribun," kata dia. Tiba-tiba terdengar tembakan gas air mata.

Tembakan gas air mata kedua diarahkan polisi ke tribun penonton.

Sedangkan tembakan ketiga mengenai tribun tempat Dadang berdiri.

"Saya tengkurap. Menutupi wajah dengan kaos. Baru pertama kali rasakan gas air mata yang menyengat," katanya.

Napas mulai sesak dan kulit terasa perih.

Lantas ia melompat pagar tribun menuju Pintu 14.

Ternyata, ia menemukan banyak penonton bergeletakan.

Temannya, Dona, turut tergeletak. Dia sudah tak bernyawa.

"Kepala bocor, dia meninggal. Saya gendong ke tempat yang aman," katanya.

Lantas ia mencari bantuan polisi, namun tak ada satupun aparat yang membantu korban.

Kemudian ia berusaha menolong sejumlah penonton yang tergeletak.

Baca Juga: 'Gak Kuat Ikut Berjubel untuk Keluar dari Stadion' Saksi Mata Ceritakan Pengakuan yang Selamat dari Tragedi Kanjuruhan

Para korban dibawa ke ruangan di dalam dekat tribun VIP.

Ternyata di dalam, puluhan jasad suporter berjejer dekat musala.

Saat sedang menolong korban, ia menerima telepon dari kakaknya.

Ia mendapat kabar bahwa keponakannya bernama Vera Puspita Ayu, 20 tahun, meninggal.

Dadang tak menyangka, saat membantu orang lain ternyata keponakannya tengah berjuang melawan maut.

Vera berdesakan di antara penonton di Stadion Kanjuruhan.

"Meninggal saat perjalanan ke rumah sakit," katanya.

Wajah almarhumah Vera terlihat menghitam, diduga akibat terpapar gas air mata.

Kesedihan tak bisa disembunyikan dari wajah Dadang, ia terpukul karena keponakannya meninggal saat menonton sepak bola.

Keluarga Vera mengembalikan santunan Rp5 juta dari manajemen Arema FC.

Mereka berpendapat uang santunan tidak bisa menebus nyawa Vera.

Dadang meminta agar kerusuhan diusut tuntas dan pelaku yang memerintahkan penembakan gas air mata dihukum berat.

Baca Juga: 'Gak Kuat Ikut Berjubel untuk Keluar dari Stadion' Saksi Mata Ceritakan Pengakuan yang Selamat dari Tragedi Kanjuruhan

(*)

Editor : Nabila Nurul Chasanati

Sumber : Kompas.com, Super Skor

Baca Lainnya