GridHype.ID - Cabai tentu menjadi bumbu masak yang hampir selalu ada di dapur orang Indonesia.
Cabai sendiri ditambahkan pada makanan untuk memberikan rasa pedas ke makanan.
Kendatipun orang Indonesia terkenal kuat pedas, namun ada saja orang yang tak bisa makan pedas.
Lalu apa yang membuat sebagian orang tidak bisa makan tanpa cabai?
Faktanya, semua cabai di dunia kemungkinan berasal dari tanaman cabai (Capsicum annuum) di tempat yang sekarang disebut Meksiko.
Capsicum annuum diimpor sebagai bagian dari pertukaran yang dilakukan oleh Christophen Colombus pada akhir abad ke-15.
Masakan khas yang mengandung cabai, seperti masakan India, Thailand, Korea, Indonesia dan Tiongkok, awalnya tidak menggunakan cabai.
Mungkin terdengar tidak masuk akal, namun cabai baru diperkenalkan ke dunia pada abad ke-16.
Sebelum itu, masakan tersebut mengandalkan rempah-rempah atau aromatik lain untuk menambah rasa pedas pada masakan.
“Seperti jahe, yang kemungkinan berasal dari Cina selatan atau lada hitam, yang berasal dari India,” tutur Gideon Lasco dilansir dari laman Smithsonian Magazine.
Beberapa ahli biologi evolusi berpendapat bahwa manusia mengonsumsi makanan pedas karena kebutuhan. Mereka berpendapat bahwa karena paprika dan bumbu pedas lainnya memiliki sifat antimikroba alami.
Antimikroba ini membantu mengawetkan makanan yang mudah busuk. Oleh karena itu manusia mengembangkan rasa untuk bumbu-bumbu pedas itu, terutama di iklim tropis di mana makanan mudah rusak.
Dalam evolusi tanaman, capsaicin tampaknya terkait dengan kemampuannya untuk menangkal jamur. Selain itu juga menciptakan sensasi terbakar ketika dikonsumsi.
Suka makanan pedas berarti suka mencari sensasi, menurut ilmuwan
Peneliti psikologi, di sisi lain, mengemukakan bahwa orang yang suka pedas memiliki kecenderungan mencari sensasi.
Psikolog Paul Rozin dan Deborah Schiller menyimpulkan hal ini pada tahun 1980. Pendapat ini diambil berdasarkan eksperimen yang melibatkan pemberian cabai dengan takaran yang bertahap.
“Makan cabai, naik roller coaster, dan banyak aktivitas lainnya dapat dianggap sebagai contoh pencarian sensasi,” tulis mereka.
Studi lain juga mengaitkan preferensi untuk cabai dengan ciri-ciri kepribadian seperti pencarian sensasi dan kepekaan terhadap penghargaan. Kompetisi makan cabai bisa menjadi salah satu contoh ekstrem.
Makanan pedas mencerminkan budaya dan nilai-nilai masyarakat
Para antropolog berpendapat lain. Mereka mengaitkan unsur budaya dengan kecenderungan orang mengonsumsi makanan pedas.
Manusia dapat mengonsumsi beragam jenis makanan. Namun keputusan tentang apa yang akan dikonsumsi sering kali berbicara lebih banyak daripada kebutuhan biologis atau psikologis seseorang.
“Keputusan inilah yang mencerminkan sebuah masyarakat dan nilai-nilainya,” Lasco menambahkan.
Di beberapa bagian Meksiko, misalnya, preferensi untuk mengonsumsi makanan pedas berkaitan dengan identitas nasional dan regional.
Sejarawan budaya Esther Katz mengutip ungkapan penduduk asli Mixtec dari Oaxaca: “Somos fuertes porque comemos puro chile”. Artinya, “Kami kuat karena kami tidak makan apa pun selain lada”.
Hubungan antara mengonsumsi makanan pedas dan kepribadian tertentu, seperti keberanian, menjadi untuk membedakan diri dari kelompok lain. Bahkan bagi mereka yang tinggal di negara yang sama.
Hal ini terjadi di Tiongkok. Cabai muncul dalam identitas regional di Tiongkok. Pepatah umum yang berbunyi: “Orang Sichuan tidak takut dengan cabai pedas; tidak ada tingkat pedas yang membuat takut orang-orang Guizhou. Justru orang Hunan itu takut mengonsumsi makanan yang tidak pedas!”
Pemimpin revolusi Komunis, Mao Zedong, adalah penduduk asli Hunan. Ia menghubungkan semangat revolusioner dengan kemampuan mengonsumsi rempah-rempah. Mao dikatakan pernah berkomentar: "Tanpa cabai tidak akan ada revolusi."
Di beberapa tempat, rasa pedas juga dikaitkan dengan gender. Misalnya di Jepang, seperti yang telah diselidiki oleh antropolog Jon Holtzman. Pria secara tradisional diharapkan lebih menyukai makanan pedas (dan alkohol) serta tidak menyukai makanan manis.
Namun sikap terhadap preferensi makanan berubah seiring dengan pergeseran pemahaman masyarakat Jepang tentang maskulinitas di abad ke-20. Meskipun rasa manis masih sering dikaitkan dengan wanita dan anak-anak.
Tetapi, selera juga berubah seiring dengan berjalannya waktu. Bahkan dalam kelompok tertentu, tiap individu memiliki preferensinya tersendiri. Jadi mengaitkan etnis dengan preferensi makanan dapat menyebabkan generalisasi yang tidak akurat.
Seorang siswa kelas delapan bernama Jacquelin Rojas dari Amerika Serikat merangkum poin ini secara ringkas di sebuah situs web. Ia mengundang orang untuk menyaring pemikiran mereka tentang ras. “Tidak semua orang Meksiko menyukai makanan pedas,” tulisnya.
Pada akhirnya, tidak ada penjelasan tunggal yang dapat menjelaskan mengapa sebagian orang suka pedas dan lainnya tidak.
Terlepas dari itu, perjalanan cabai melintasi benua selama berabad-abad menunjukkan seberapa jauh manusia membumbui makanan dan kehidupan sehari-harinya.
(*)