Tradisi Puasa dan Lebaran: Tradisi Ruwahan Jelang Ramadan yang Dilakukan oleh Masyarakat Jawa, Bagaimana Hukumnya Menurut Islam?

Senin, 21 Maret 2022 | 14:45
Tribunnews.com

Tradisi ruwahan

GridHype.ID - Indonesia kaya akan beragam tradisi adat.

Dalam masyarakat muslim Jawa biasanya melakukan tradisi ruwahan untuk mengenang dan mendoakan arwah para leluhurnya.

Mulai tahlilan, sedekah kubur, membersihkan kuburan hingga berdoa.

Akan tetapi, Ruwahan tidak ada dalam ajaran Islam, sehingga menjalani tradisi ruwahan tidak wajib.

Hukum Ruwahan dalam pandangan Islam?

Bagaimana Islam memandang Tradisi Ruwahan? Dilansir dari rumaysho.com, tidak diketahui pasti kapan tradisi ruwah ini dimulai.

Hal ini karena tradisi Ruwahan sudah turun-temurun telah ada sebelum mereka dan selanjutnya terus diadakan sampai mereka punya anak dan cucu.

Yang patut dipahami bahwa doa dari orang yang hidup kepada orang yang mati itu bermanfaat. Dalil yang mendukungnya adalah firman Allah SWT:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al Hasyr: 10).

Baca Juga: Tradisi Puasa dan Lebaran: Bagaimana Jejak Sejarah Tradisi Beli Baju Baru di Hari Raya?

Ayat di atas menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah doa.

Ayat ini mencakup umum, yaitu ada doa yang ditujukan pada orang yang masih hidup dan orang yang telah meninggal dunia.

Dari Ummu Darda’, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendoakan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan doanya. Tatkala dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (HR. Muslim no. 2733).

Walau hadits ini disebutkan oleh Ummu Darda’ ketika ia meminta doa pada Abu Az-Zubair saat ia mau pergi berhaji, namun kandungan makna dari hadits tersebut bisa diamalkan.

Ummu Darda’ berkata pada Abu Zubair:

فَادْعُ اللَّهَ لَنَا بِخَيْرٍ فَإِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ

“Berdoalah pada Allah untuk kami agar memperoleh kebaikan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda … (disebutkan hadits di atas).”

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Doa pada si mayit, melunasi utangnya, termasuk pula sedekah atas si mayit bermanfaat untuknya berdasarkan kesepakatan pada ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 82).

Baca Juga: Tradisi Puasa dan Lebaran: Jadi Salah Satu Tradisi di Hari Raya, Intip Sejarah Asal-usul Ketupat

Dikhususkan Kirim Do’a pada Bulan Ruwah

Kalau dikhususkan kirim doa pada bulan ruwah (bulan Syakban) seperti yang masih laris manis di tengah-tengah masyarakat, yang tepat hal itu tidak ada tuntunannya.

Karena doa yang disyari’atkan yang telah disebut di atas berlaku umum sepanjang waktu.

Sedangkan kalau dikhususkan pada waktu tertentu, harus butuh dalil.

Sama halnya ada yang shalat tahajud namun menganggapnya lebih afdhal dilakukan pada malam Maulid Nabi daripada malam lainnya, tentu saja untuk melakukan shalat tahajud semacam itu harus butuh dalil.

Jika tidak ada, berarti amalan tersebut tertolak.

Karena tidak boleh membuat suatu ibadah dengan tata cara khusus kecuali dengan dalil.

Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizaniy memberikan suatu kaedah:

كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة

“Setiap ibadah mutlak yang disyari’atkan berdasarkan dalil umum, maka pengkhususan yang umum tadi dengan waktu atau tempat yang khusus atau pengkhususan lainnya, dianggap bahwa pengkhususan tadi ada dalam syari’at namun sebenarnya tidak ditunjukkan dalam dalil yang umum, maka pengkhususan tersebut tidak ada tuntunan.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 116).

Baca Juga: Tradisi Puasa dan Lebaran: Sambut Bulan Suci Ramadan Masyarakat Jawa Adakan Tradisi Megengan

Alasan Lainnya, “Ini Sudah Jadi Tradisi”

Alasan lainnya untuk mendukung amalan tersebut tetap lestari karena sudah jadi tradisi.

Tradisi ruwahan tak ada yang pernah menukil siapa yang mempeloporinya. Bahkan tak jelas amalan tersebut berasal dari mana.

Di Arab saja yang merupakan tempat turunnya wahyu, tradisi kirim doa seperti itu tidak pernah ada.

Kalau pun amalan ini ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu di negeri Islam lainnya selain di negeri kita, ada juga ritual semacam itu.

Bukankah syari’at Islam itu berlaku untuk setiap umat di berbagai belahan bumi yang berbeda?

Patut diketahui bahwa orang musyrik biasa beralasan dengan tradisi untuk amalan-amalan mereka.

Orang musyrik itu berkata,

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka” (QS. Az Zukhruf: 22).

Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah dalam kitabnya Masail Jahiliyyah berkata, “Sifat orang jahiliyyah adalah biasa berdalil dengan tradisi nenek moyangnya dahulu. Sebagaimana kata Fir’aun:

قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى

Baca Juga: Tradisi Puasa dan Lebaran: Mempererat Kebersamaan Lewat Daging Sapi, Mengenal Tradisi Masyarakat Aceh Meugang

“Berkata Fir’aun: “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?” (QS. Thaha: 51).

Begitu pula kata kaum Nuh:

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آَبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

“Belum pernah kami mendengar ajaran seperti ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu” (QS. Al Mukminun: 24).”

Kaum Quraisy pun beralasan seperti itu:

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ

“Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” (QS. Shaad: 7)

Berarti yang membedakan orang muslim dan orang kafir adalah dalam mengikuti wahyu.

Orang musyrik senantiasa beralasan dengan tradisi, sedangkan orang muslim mengikuti wahyu dari Allah dan Rasul-Nya.

Doa dan Amalan dari Anak Lebih Bermanfaat

Sebagai solusi yang bisa diberikan, yang pertama kita tetap tujukan doa pada mayit namun tak perlu mengkhususkan waktu seperti di bulan Ruwah.

Patut dipahami bahwa doa dari orang lain memang bermanfaat untuk mayit, namun doa yang lebih manfaat adalah doa dari anaknya sendiri.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Baca Juga: Tradisi Puasa dan Lebaran: Lebaran Ketupat Jadi Sebuah Tradisi Islam di Tanah Jawa yang Sarat akan Makna yang Mendalam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِى صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

“Sesungguhnya yang akan selalu menemani orang beriman adalah ilmu dan kebaikannya. Setelah matinya ada ilmu yang ia ajarkan dan ia sebarkan, begitu pula anak shalih yang ia tinggalkan, juga ada di situ mushaf yang ia wariskan atau masjid yang ia bangun, atau rumah untuk ibnus sabil yang ia bangun, atau sungai yang ia alirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan semasa hidupnya. Itu semua akan menemaninya setelah matinya.” (HR. Ibnu Majah no. 242. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan).

Di samping doa dari anak, amal shalihnya pun sebenarya bermanfaat untik orang tuanya, meskipun ia tidak niatkan untuk kirim pahala pada orang tuanya. Hal ini disimpulkan dari ayat,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Lalu dalam hadits disebutkan,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa’i no. 4451. Al Hafizh Abu Thahir menyataan hadits ini shahih).

Ini berarti amalan dari anaknya yang shalih masih tetap bermanfaat untuk orang tua walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

Baca Juga: Beda dari yang Lain, Ini Dia 10 Tradisi Unik Sambut Tahun Baru di Berbagai Negara, Ada yang Lempari Pintu Rumah dengan Piring dan Gelas

(*)

Tag

Editor : Ruhil Yumna

Sumber Tribun Sumsel