Tradisi Puasa dan Lebaran: Semarakkan Bulan Ramadan yang Tiba, Warga Semarang Adakan Tradisi Dugderan

Sabtu, 26 Februari 2022 | 17:30
Kompas

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi (Hendi) terlihat menabuh beduk di Masjid Agung Kauman Semarang dalam gelaran tradisi Dugderan di Kota Semarang, Minggu (11/4/2021).

GridHype.ID - Indonesia kaya akan tradisi dan budaya.

Setiap daerah memiliki kekayaan tradisi dan budayanya masing-masing.

Kali ini GridHype.id akan mengulas tradisi yang ada di daerah Semarang.

Warga Kota Semarang, Jawa Tengah, memiliki tradisi unik untuk menyambut bulan Ramadan yang disebut tradisi Dugderan.

Tradisi ini berlangsung selama seminggu sebelum bulan Ramadan datang dengan diadakan pasar kaget di daerah Pasar Johar.

Tradisi Dugderan merupakan pesta rakyat yang biasanya akan dibuka oleh Wali Kota Semarang dan dimeriahkan dengan mercon dan kembang api.

Nama Dugderan merupakan onomatope (menirukan bunyi-bunyi dari sumber suara) letusan mercon.

Kata “dug” berasal dari bunyi bedug yang ditabuh, sedangkan “der” adalah suara dari mercon yang memeriahkan tradisi ini.

Selain sebagai pengingat bulan Ramadan akan datang, tradisi ini juga menjadi ajang mempererat silaturahmi masyarakat Semarang.

Baca Juga: Tradisi Puasa dan Lebaran: Mengenal Tradisi Makan Bajambu di Riau untuk Sambut Ramadan Tiba

Asal-usul

Dugderan adalah upacara adat dari provinsi Jawa Tengah, lebih tepatnya dari Kota Semarang.

Awal mula tradisi Dugderan berasal ide Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat atau KRMT Purbaningrat.

Tradisi yang berlangsung sejak 1881 ini memiliki tujuan menyatukan perbedaan antarwarga Semarang di era penjajahan Belanda.

Saat itu, pemerintah kolonial Belanda membedakan kelompok masyarakat Kota Semarang menjadi empat golongan, yaitu Pecinan (etnis Tionghoa), Pakojan (etnis Arab), Kampung Melayu (warga perantauan dari luar Jawa) dan orang Jawa asli.

Pengelompokan ini dipengaruhi oleh hasutan tak sehat yang dihembuskan oleh pemerintah Belanda saat itu, guna memecah belah persatuan antarwarga Semarang.

Pada saat itu, umat Islam sering mengalami perbedaan pendapat terkait penetapan awal puasa atau bulan Ramadan dan hari besar Islam lainnya.

Oleh sebab itulah, tradisi Dugderan diadakan oleh Bupati Purbaningrat untuk melebur perbedaan yang terjadi antarwarga Kota Semarang saat itu.

Untuk menyamakan persepsi masyarakat dalam menentukan awal Ramadan, dilakukan dengan menabuh bedug di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman kabupaten. Masing-masing dibunyikan tiga kali dan dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid.

Hingga saat ini, tradisi ini menjadi alat pemersatu antarwarga Semarang untuk berbaur, tegur sapa dan saling menghormati antarsesama tanpa memandang perbedaan.

Baca Juga: Tradisi Puasa dan Lebaran: Mengenal Tradisi Cucurak yang Dilakukan oleh Warga Bogor untuk Sambut Bulan Suci Ramadan

Perayaan Tradisi Dugderan dimeriahkan dengan festival di mana para pedagang akan menjajakan dagangannya, mulai dari minuman, makanan, dan berbagai mainan tradisional anak-anak.

Selain itu, guna memeriahkan tradisi Dugderan, diciptakanlah ikon berupa Warak Ngendok untuk menarik perhatian masyarakat.

Warak Ngendok merupakan simbol dari keberagaman etnis di Kota Semarang dan sekitarnya saat itu.

Pasalnya, Warak Ngendok berbentuk naga pada kepalanya yang merupakan ciri khas etnis Tionghoa.

Lalu tubuhnya menyerupai binatang Unta, yang merupakan simbol etnis Arab.

Pada kaki dibuat dengan menyerupai kambing sebagai simbol yang menunjukkan etnis khas Jawa.

Baca Juga: Identik dengan Tradisi Unik, Ini Dia 5 Minuman Khas Natal dari Berbagai Penjuru Dunia, Kamu Wajib Tahu

(*)

Editor : Ruhil Yumna

Sumber : kompas

Baca Lainnya