Buntut Omnibuslaw, Buruh Ajukan Uji Materi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi

Sabtu, 14 November 2020 | 13:15
Tribunnews

Ratusan mahasiswa yang ikut demo tolak UU Cipta Kerja dinyatakan positif Covid-19.

Gridhype.id-Buntut dari disahkannya RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu berujung pada demonstrasi di beberapa daerah di Indonesia.

Banyak pihak yang merasa keberatan dengan disahkannya Omnibuslaw.

Hal ini membuat Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akhirnya resmi mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK)

Permohonan itu teregistrasi pada 12 November 2020 dengan Nomor Perkara: 101/PUU-XVIII/2020.

Baca Juga: Putri Rizieq Shihab Menikah Hari ini, Acara Akan Dihadiri 10.000 Undangan, Lurah Siapkan Ambulans hingga Mobil Toilet

Selain KSPI, ada juga beberapa serikat buruh yang menjadi pemohon uji materi, yakni Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Federasi Serikat Pekerja farmasi dan Kesehatan Reformasi.

Serta ada juga pemohon yang berprofesi sebagai karyawan tetap, pekerja kontrak dan pekerja alih daya.

"Para pemohon mengajukan permohonan pengujian materill sebagian ketentuan dalam pasal 81, pasal 82 dan pasal 83 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar 1945," seperti dikutip dari berkas permohonan yang diakses melalui laman www.mkri.id, Jumat (13/11/2020) malam.

Pasal 81 yang dipersoalkan pemohon yakni aturan tentang lembaga pelatihan kerja yang menghapus ketentuan pasal 13 UU Ketenagakerjaan.

Baca Juga: Iseng Beli Mainan Bekas, Pasangan Muda ini Justru Temukan Cincin Berlian Seharga Rp273 Miliar di Dalamnya

Terkait pelaksana penempatan tenaga kerja antara lain mengubah ketentuan pasal 37 UU Ketenagakerjaan, pada pokoknya telah menghilangkan persyaratan badan hukum bagi lembaga swasta yang menjadi pelaksana penempatan tenaga kerja.

Kemudian mengenai tenaga kerja asing yang dianggap berpotensi merugikan hak konstitusional para pemohon atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Berikutnya, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), salah satunya terkait penghapusan aturan perjanjian kerja kontrak dapat diadakan paling lama 2 tahun dan hanya bisa diperpanjang dua kali.

Kemudian, pemohon juga mempermasalahkan tentang pekerjaan alih daya (outsourcing), waktu kerja, cuti untuk pekerja, upah dan upah minimum.

Baca Juga: Pemerintah Sedang Susun Peraturan Turunan UU Ciptaker, Masyarakat Bisa Memberi Masukan Melalui Situs Resmi Berikut ini

Serta pemutusan hubungan kerja (PHK), penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak memberikan uang pesangon, uang penghargaan dan uang pengganti hak kepada pekerja atau buruh yang di PHK dan tidak diikutsertakan dalam program pensiun.

Sementara, Pasal 82 dan 83 terkait jaminan sosial.

Salah satunya terkait adanya norma baru jaminan kehilangan pekerjaan yang diklaim pemerintah sebagai suitener dari UU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan.

Namun ketentuan itu berpotensi sulit diimplementasikan karena adanya potensi penerapan outsourcing dan pekerja kontrak yang masif serta adanya upah per jam.

Baca Juga: Jokowi Tegur Seluruh Menteri dan Jajarannya Lantaran Komunikasi Terkait UU Ciptaker Sangat Buruk

"Sehingga mengakibatkan pekerja berpotensi tidak lagi mendapatkan jaminan sosial khususnya jaminan pensiun dan jaminan kesehatan," dikutip dari berkas permohonan.

Adapun, hingga saat ini UU Cipta Kerja digugat oleh empat pihak yakni Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa.

Kemudian pengugat atas nama Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, Novita Widyana, Elin Dian Sulistiyowati, Alin Septiana, dan Ali Sujito.

Selanjutnya penggugat atas nama Zakarias Horota, Agustinus R. Kambuaya dan terakhir penggugat dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).

(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ajukan Uji Materi UU Cipta Kerja, KSPI Persoalkan Tiga Pasal Ini"

Editor : Ngesti Sekar Dewi

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya