Indonesia Akan Terpuruk Jika BI Nekat Cetak Uang Rp 4.000 Triliun Guna Bantu Masyarakat dari Wabah Covid-19

Sabtu, 09 Mei 2020 | 18:00
kompas.com

Mata uang rupiah

GridHype.ID - Imbas dari wabah Covid-19 yang paling dirasakan adalah sektor ekonomi.

Bahkan dalam mengatasi pandemi ini untuk membantu warga yang terdampak,Bank Indonesia (BI) sempat diberikan usulan untuk mencetak rupiah dengan jumlah besar.

Badan Anggaran DPR RI menyarankan agar BI mencetak uang Rp 600 triliun.

Saran serupa dengan nominal lebih ekstrim bahkan diutarakan oleh mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.

Melansir Kontan.co.id, Gita mendukung wacana usulan anggota DPR, dan meminta BI untuk mencetak Rp 4.000 triliun.

Baca Juga: Tanpa Makan Minum Selama 3 Hari, Ibu Lumpuh Ini Hanya Bisa Merintih Lirih Minta Tolong Saat Anaknya Sendiri Menguburnya Hidup-hidup di Makam Kosong

Jumlah yang sangat fantastis dengan risiko besar yang tentunya tidak mudah untuk dihadapi.

Menurut Gita, selain menyelamatkan ekonomi negara, uang itu juga dapat diberikan untuk membantu rakyat kecil terdampak corona.

"Uang tersebut tidak hanya digunakan untuk memberi stimulus pada mereka yang kehilangan pendapatan, tapi juga untuk restrukturisasi penyelamatan sektor riil dan UMKM," ucap Gita dilansir dari Kontan.co.id.

Wacana cetak uang ini muncul sebab defisit APBN telah mencapai 5 persen, padahal sebelumnya hanya 1,75 persen.

Baca Juga: Tak Dapat Restu dan Berjuang Sendirian Sejak Hamil hingga Melahirkan, Ayu Ting Ting Ungkap Hubungannya dengan Mantan Mertua

Wakil Ketua Pertimbangan Kadin itu bahkan meminta BI untuk tak kuatir, sebab banyak pula negara lain yang mencetak uang di masa-masa sulit.

"Harus ada kebijakan tidak biasa yang harus diambil pemerintah, yakni pencetakan uang. Meski diakui bertentangan dengan apa yang diajarkan selama ini," ujarnya.

Pria yang pernah berkarir di Goldman Sachs ini menepis kekhawatiran adanya moral hazard dalam kebijakan cetak uang.

Dia menganggap bahwa itu adalah alternatif paling mungkin untuk mencapai likuiditas.

Kendati demikian, BI memberi indikasi tak akan mencetak uang tambahan utuk menambah dana atau likuiditas perbankan maupun untuk menambal defisit anggaran pemerintah.

Baca Juga: Bermodal Kartu Sakti Mandraguna, Begini Cara YouTuber Ferdian Paleka Kelabui Polisi Hingga Lolos dari Petugas PSBB Ketika Tinggalkan Bandung

Sebab hal itu akan menyebabkan inflasi gila-gilaan yang kedepannya justru bakal menyengsarakan rakyat.

Cetak uang yang tak dapat dikendalikan akan membuat nilai tukar rupiah makin berkurang, dan menyebabkan harga-harga melambung tinggi.

Hal ini menjadi lebih parah karena permintaan produksi barang/jasa makin rendah, sehingga memicu situasi krisis yang makin mengerikan.

Cetak uang yang tak dapat dikendalikan akan membuat nilai tukar rupiah makin berkurang, dan menyebabkan harga-harga melambung tinggi.

Hal ini menjadi lebih parah karena permintaan produksi barang/jasa makin rendah, sehingga memicu situasi krisis yang makin mengerikan.

Baca Juga: Baru Saja Sandang Status Istri Pengusaha Kaya, Ahli Tarot Sebut Rumah Tangga Zaskia Gotik Dibumbui Orang Ketiga

Nilai tukar Anjlok

Nilai tukar mata uang asing, dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.

Jika peredaran rupiah makin bertambah, maka nilai kurs Internasional bakal makin turun.

Terlebih, rupiah tak sama seperti dollar AS dan yen Jepang yang diterima di dunia.

Berkaca dari Zimbabwe, negara itu bahkan pernah mengalami hiperindlasi karena mata uang yang hampir tak bernilai untuk membeli kurs asing.

Inflasi di Zimbabwe bahkan pernah menyentuh angka 231 juta persen pada tahun 2008, menyebabkan adanya redenominasi mata uang dengan menghilangkan 10 angka nol dari 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe.

Baca Juga: Singgung Soal Tantangan Jerinx Soal Diskusi Konspirasi Agama, Ahmad Dhani Luapkan Kejengkelannya Sambil Tunjuk-tunjuk Kamera: Diam!

Utang membengkak, PHK besar-besaran

Cetak uang secara berlebihan juga meningkatkan risiko utang luar negeri naik tajam.

Ini merupakan efek domino dari anjloknya nilai tukar rupiah terhadap kurs asing.

Makin rupiah tak berarti di mata internasional, maka utang negara akan otomatis membengkak.

Sebagai mata uang yang tak diakui secara internasional, rupiah tidak dapat sekonyong-konyong dicetak tanpa pertimbangan.

Bererdarnya jumlah uang yang terlalu banyak juga mengakibatkan daya beli masyarakat anjlok.

Mengakibatkan adanya PHK karyawan besar-besaran, karena banyak perusahaan yang menurunkan dan menahan produksi barang/jasa.

Baca Juga: Tangis Anak Didi Kempot dari Istri Kedua Pecah Saat Sirine Ambulan Perlahan Pergi

Situasi ini kemudian membuat investor tak tertarik berinvestasi di Indonesia, atau dalam kondisi terparahnya, investor akan menarik modal yang di tanam di Indonesia.

Bank sentral tak ingin mengulang BLBI 1998

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, alasan lain mengapa BI menolak mencetak uang sebab bank sentral enggan mengulang kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) saat 1998.

Saat itu, angka inflasi Indonesia mencapai 67 persen.

"Waktu BLBI dulu, salah satunya BLBI-nya kan bank sentral mengedarkan uang, penggantinya dikasih surat utang pemerintah, surat utang pemerintahnya tidak kredibel, tidak kredibel karena suku bunganya mendekati nol," kata Perry ketika memberikan penjelasan kepada anggota Komisi XI DPR RI secara virtual.

Baca Juga: Dipersunting Fadel Islami, Gaya Hidup Muzdalifah Berubah Drastis! Ternyata Sang Mertua Bukan Orang Sembarang

Perry mengatakan, saat inflasinya naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah dan likuiditas.

"Di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang," tambahnya.

Alih-alih melakukan pencetakan besar-besaran, BI kata Perry, lebih memilih melakukan kebijakan moneter lain untu menambah likuiditas.

Seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Jika Bank Indonesia Nekat Cetak Uang Rp 4.000 Triliun Demi Selamatkan Warga dari Wabah Virus Corona, Indonesia Justru Akan Jatuh ke Lubang Kesengsaraan

(*)

Editor : Nailul Iffah

Sumber : intisari online

Baca Lainnya