GridHype.ID – Bisa berkuliah diluar negeri menjadi suatu kebangaan tersendiri, pasalnya tak mudah untuk menimba ilmu di negeri orang.
Ada banyak pelajar Indonesia yang bercita-cita berkuliah di luar negeri. Entah itu S1, S2, atau malah S3.
Salah satunya adalah La Ode Marzujriban atau yang akrab dipangil Iban.
Iban merupakan pemuda asal Pulau Buton, Sulawesi Tenggara dan saat ini tengah menempuh pendidikan S2 jurusan Geofisika Terapan di Universitas RWTH Aachen, Jerman.
Menariknya ia mengambil program joint master's degree yang mana ia akan berkuliah di tiga kampus sekaligus di tiga negara berbeda dan mendapatkan tiga gelar master dari kampus-kampus tersebut.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan joint master's degree program?
Lalu bagaimana pengalaman Iban berkuliah di tiga negara?
Simak wawancara DW dengan mahasiswa berusia 25 tahun ini.
DW: Iban bisa kamu jelaskan apa yang dimaksud dengan joint master's degree program?
Iban: Jadi program joint master's degree adalah program yang dilakukan di lebih satu kampus dengan bisa lebih dari satu gelar yang akan didapat nanti saat lulus.
Untuk kasus saya, saya berkuliah di tiga kampus. Kampus pertama saya akan mengambil semua mata kuliah wajib dan mata kuliah pilihan.
Namun mata kuliah pilihan tersebut akan menjadi mata kuliah wajib di kampus kedua dan ketiga.
Hal ini demi mendapatkan gelar dari kampus-kampus tersebut.
Jadi sekarang, ketika saya pindah ke kampus kedua maka yang tadinya mata kuliah pilihan di kampus pertama jadi mata kuliah wajib di kampus kedua.
Hal ini untuk bisa mendapat gelar di kampus kedua tersebut. Begitu pun ketika transfer ke kampus ketiga.
DW: Jadi program ini mewajibkan kamu kuliah di tiga negara, negara mana sajakah itu?
Iban: Iya benar, jadi saat ini saya mengambil program joint master di TU Delft, Belanda, kemudian ETH Zurich, Swiss, dan sekarang saya sedang berada di kampus ketiga saya di RWTH Aachen, Jerman.
DW: Bagaimana awal mula kamu bisa memilih program ini?
Iban: Saya memang bercita-cita melanjutkan studi saya, yaitu melanjutkan S2.
Saya mendapatkan program ini awalnya selain mencari sendiri program dari masing-masing ketiga kampus tersebut juga disarankan serta diperkenalkan oleh dosen pembimbing semasa kuliah S1 dulu.
Di samping itu ada motivasi lain kenapa saya memilih program ini.
Waktu saya kecil saya senang dengan sains, saya senang membaca biografi tokoh seperti Albert Einstein, BJ Habibie, dan saat dewasa saya melihat sosok ilmuwan muda yakni Pak Yogi Ahmad Erlangga saat itu beliau mendapatkan penghargaan Bakrie Award dan beliau kuliah di TU Delft.
Dan ketika saya lulus sarjana, saya sangat senang bisa mendapatkan program ini yang bisa kuliah di tempat ketiga tokoh-tokoh tersebut.
Jadi saya ke Delft dimana Pak Yogi Ahmad Erlangga berkuliah, saya ke ETH Zurich dimana Einstein pernah berkuliah, dan sekarang saya ada di RWTH Aachen tempat dimana Pak Habibie menimba ilmu.
DW: Bagaimana pendapat keluarga tentang pencapaian kamu ini?
Iban: Sama sekali tidak menyangka. Keluarga besar saya tidak menyangka. Di Buton jarang sekali ada orang yang rela kuliah jauh-jauh.
Seperti saya saat ambil S1, semua kaget tahu saya bisa kuliah di Makassar. Saya cucu pertama jadi saya ingin menunjukkan kepada mereka bahwa saya mampu.
Dan sekarang saya berada di Jerman.
DW: Mengapa jurusan Geofisika Terapan yang kamu ambil?
Iban: Karena dulu saat masih kuliah S1 saya kuliah jurusan Geofisika di Makassar jadi ingin saya lanjutkan.
Saya sering membaca ensiklopedia tentang geofisika, luar angkasa, bumi, komputer. Saya jatuh cinta terhadap geofisika.
Baca Juga : Benarkah Tidak Memakai Celana Dalam Justru Lebih Sehat?
DW: Apa saja yang kamu lakukan selama menjalani program ini?
Iban: Sedikit flashback tentang program ini, semester satu untuk mendapatkan degree kampus pertama saya di TU Delft di Belanda.
Di sana kegiatan perkuliahannya banyak berkutat tentang teori fisika dan matematika terapan, durasi di sana kurang lebih enam bulan atau satu semester.
Kemudian di semester kedua saya lanjut mengambil degree di ETH Zurich di Swiss kurang lebih durasinya sama juga enam bulan.
Di sana kami lebih berkutat tentang metode-metode numerik, inversi, hal-hal yang bersifat lapangan.
Jadi di sana kami melakukan kuliah lapangan mencari benda-benda purbakala dengan metode geofisika.
Saya sempat magang di pusat riset ETH Zurich yang bekerja sama dengan berbagai badan antariksa saya mengerjakan beberapa proyek dan bagi saya itu merupakan pelajaran yang sangat bagus.
DW: Di kampus ketiga kamu ini, apa yang menjadi fokus sekarang?
Iban: Jadi sekarang saya sedang mengambil mata kuliah wajib untuk mengambil degree atau gelar dari RWTH Aachen.
Saat ini aktivitas saya selain mempersiapkan diri untuk ujian saya juga akan mempersiapkan tesis saya.
Di sini perkuliahan kami lebih difokuskan ke hal-hal seperti geothermal, geofisika logging, dan juga pendalaman tentang meotde-metode numerik utnuk mengesktrak seperti panas bumi, migas, air tanah, dan menurut saya ini sangat menarik.
Banyak orang Indonesia dan presiden ketiga kita Pak Habibie pernah berkuliah di sini.
DW: Semoga lancar ya ujian dan penyusunan tesisnya. Apa yang menjadi topik tesis kamu Iban?
Iban: Tentang CWI, coda wave interferometry.
Sebenarnya metode ini sudah beberapa tahun lalu digencarkan tapi tesis saya lebih mencari metode baru untuk melokalisasi jika ada rekahan dalam medium dan medium itu bisa dari sampel batuan atau lebih besar seperti patahan dalam bumi.
Contoh sederhananya misalnya teman-teman punya sebongkah batu kemudian bongkah batu itu dilewatkan gelombang kemudian diukur setelah itu di batunya berikan rekahan kemudian diberi gelombang lagi kemudian diukur lagi, tentu ada perbedaan.
Nah yang saya lakukan adalah tanpa melihat batuannya kita bisa mengetahui kira-kira di mana lokasi rekahannya, seberapa panjang lokalisasi rekahannya.
Kemudian akan di tes di wave lab dan metode yang akan saya lakukan formalasi di tesis akan saya coba implemantasikan pada laboratorium tersebut.
DW: Menurut kamu apa tantangan selama menjalani program ini?
Iban: Kalau dari sisi akademik tidak ada kendala yang berarti.
Namun pindah-pindahnya cukup merepotkan karena kita harus pindah negara semua diurus lagi dari awal. Ibarat pacaran, sedang-nyaman-nyamannya tetapi harus pergi.
Awalnya juga depresi karena di program ini tidak ada mahasiswa Indonesia, harus adaptasi dengan perbedaan budaya mahasiswa negara-negara lain.
Kalau di Jerman sendiri tantangannya itu bahasa, kalau di luar akademik Bahasa Inggris jarang digunakan.
Akan sangat susah kalau misalnya teman-teman tidak bisa menggunakan basic bahasa Jerman.
Saya pribadi tidak fasih berbahasa Jerman, karena keadaan memaksa tapi saya tahu cara memesan makanan, membayar sesuatu, atau paling urgent jika tersesat menanyakan arah.
DW: Apa rencana kamu setelah lulus nanti?
Iban: Saya ingin melanjutkan karier saya sebagai researcher, kemudian melakukan riset-riset ilmiah.
Saya juga ingin mengambil PhD dan bekerja di suatu laboratorium.
Kalau kembali ke Indonesia saya berkeinginan bergabung bersama LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul,“Kisah Iban, Pemuda Asal Buton yang Berkuliah di 3 Kampus Sekaligus di 3 Negara Berbeda, dan Dapat 3 Gelar Master”