Memahami Nikah Mut'ah, Pengertian dan Hukumnya Menurut Islam

Kamis, 12 Januari 2023 | 09:00
pinterest

Ilustrasi Pernikahan

Gridhype.id-Menikah merupakan perjalanan ibadah panjang yang memiliki banyak keistimewaan.

Tidak heran jika banyak manusia mendambakan pernikahan yang tenteram dan dikaruniai keberkahan oleh Allah SWT.

Membahas soal pernikahan, ternyata ada banyak hal menarik yang bisa dipelajari dan dipahami oleh umat manusia.

Dalam agama Islam, menikah merupakan salah satu ibadah yang disukai oleh Allah.

Sebab, pernikahan dilaksanakan sepanjang usia dan sepanjang masa.

Setiap perbuatan yang dilakukan oleh suami istri dalam sebuah pernikahan merupakan wujud dari ibadah dan akan mendapatkan pahala.

Selain ibadah, pernikahan merupakan wujud dari sikap ta’awun atau kerjasama yang terjalin antara individu dalam pendirian lembaga keluarga serta sarana reproduksi.

Menurut Jumhur Fuqaha, ada empat macam nikah yaitu nikah fasidah yaitu nikah yang rusak dan tidak, nikah syighar, nikah mut’ah adalah pernikahan yang dibatasi waktu tertentu dan nikah muhallil.

Di Indonesia, nikah mut’ah adalah nikah kontrak yang cukup umum.

Lalu bagaimana hukum nikah mut’ah dalam Islam dan bagaimana pengertiannya? Simak lebih lanjut dalam artikel ini ya!

Pengertian

Nikah mut’ah adalah nikah kontrak yaitu pernikahan dalam tempo waktu tertentu.

Baca Juga: Doa Harian, Jangan Sampai Lupa Baca, Ini Dia Doa Sebelum Belajar dan Doa Sesudah Belajar

Menurut mazhab Syiah, nikah mut’ah adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam masa waktu yang telah ditetapkan sebelumnya dan setelah itu, ikatan perkawinan tersebut sudah tidak berlaku kembali.

Contohnya ada seorang laki-laki yang melaksanakan pernikahan dengan akad nikah sebagai berikut ini, “Aku menikahi dirimu selama satu bulan atau satu tahun,” kemudian mempelai perempuan menjawab, “Aku terima.”

Jadi, masa pernikahan dari suami dan istri tersebut akan berakhir dalam waktu yang sesuai dengan akad yang telah diucapkan.

Nikah mut’ah secara harfiah, memiliki pengertian dengan pernikahan kesenangan atau lebih dikenal dengan istilah kawin kontrak.

Dalam pengertian lainnya, nikah mut’ah adalah seseorang yang menikah dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan suatu pemberian padanya, baik itu berupa pakaian, makanan, harta atau yang lainnya.

Apabila masa dari pernikahan kontrak tersebut telah selesai, maka dengan sendiri kedua suami dan istri tersebut akan berpisah tanpa adanya talak maupun warisan.

Bentuk dari pernikahan mut’ah ini adalah seseorang datang pada seorang perempuan tanpa memerlukan saksi maupun wali.

Lalu keduanya saling bersepakat untuk membuat mahar atau upah serta batas waktu tertentu.

Contohnya pernikahan hanya dilaksanakan dalam kurun waktu tiga atau bahkan kurang atau lebih.

Biasanya, nikah mut’ah tidak lebih dari 45 hari dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali mahar yang telah disepekati, tidak ada saling mewariskan, tidak ada nafkah, tidak ada masa iddah kecuali istibra’ yaitu ketika perempuan satu kali haid yang menopause serta dua kali haid bagi perempuan biasa dan empat bulan sepuluh hari bagi perempuan yang suaminya telah meninggal dunia dan terakhir tidak ada nasab kecuali apabila disyaratkan.

Seperti halnya dalam jenis pernikahan yang lainnya, pernikahan mut’ah juga memiliki rukun. Menurut Syiah Imamiah, ada empat rukun dalam nikah mut’ah berikut penjelasannya:

  • Shigat berupa ucapan seperti, “aku mut’ahkan engkau,” atau “aku nikahi engkau.”
  • Calon istri dan diutamakan perempuan muslimah maupun perempuan kitabiah.
  • Mahar dengan syarat kedua belah pihak saling relah dan meskipun saling rela, mahar tersebut hanya berupa satu genggam gandum.
  • Memiliki jangka waktu tertentu.
Baca Juga: Doa Harian Setelah Salat Tahajud, Amalkan Sebagai Upaya Memohon Kebaikan dari Allah SWT

Sejarah Nikah Mut'ah

Beberapa penyebab dari kemunculan nikah mut’ah ini adalah pada masa jahiliah ketika muncul kehidupan nomaden, perjalanan jauh serta peperangan.

Biasanya anak-anak dari hasil perkawinan mut’ah diserahkan pada ibu.

Apabila ditinjau dari sejarah nikah mut’ah di masa Rasulullah SAW, di mana pada masa tersebut masyarakat jahiliyah tidak memberikan hak pada perempuan sebagaimana mestinya, dikarenakan perempuan saat itu dianggap sebagai barang yang dapat ditukar seenaknya dan bukannya sebagai manusia yang memiliki haknya.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan ajaran agama Islam yang menginginkan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya seperti seorang laki-laki.

Nikah mut’ah pernah menjadi suatu isu yang sentral serta banyak dilakoni oleh para sahabat.

Nikah ini terjadi di medan perang, pada masa tersebut mayoritas dari tentara Islam adalah dari golongan pemuda yaitu para laki-laki lajang yang tidak sempat mengikat dirinya dengan ikatan dari benang kasih di bawah atap pernikahan.

Karena harus pergi berperang, mereka tidak dapat menikah dengan perempuan idaman tetapi nafsu syahwat yang dirasakan terus datang.

Karena tidak ingin berzina, maka para pemuda pun berusaha menekan syahwatnya dengan cara berpuasa.

Akan tetapi, karena harus berperang dan melawan musuh, puasa tidak menjadi cara solutif untuk menekan hal tersebut, maka para pemuda tersebut pun melakukan nikah mut’ah atau kawin kontrak.

Pada zaman Rasul, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang berpisah jauh dari istri untuk melaksanakan nikah mut’ah, dibandingkan berzina dan melakukan penyimpangan.

Akan tetapi, Rasulullah pun akhirnya mengharamkan nikah mut’ah ketika melaksanakan pembebasan kota Mekah di tahun 8 H atau 630 M.

Baca Juga: Bukannya Banjir Doa, Kondisi Drop Lucinta Luna Malah Dikuliti Habis oleh Netizen, Disebut Hanya Ingat Tuhan saat Sakit

Nikah mut’ah di masa awal Islam adalah suatu hal yang halal, kemudian hukum dihapus atau dinaskh. Nikah mut’ah lalu menjadi haram hukumnya hingga pada hari kiamat kelak.

Maka dengan begitu, hukum nikah mut’ah haram pun menjadi pegangan bagi jumhur atau mayoritas sahabat, tabi’in serta para ulama dari mazhab-mazhab lainnya. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits HR Muslim.

Dari Sabroh Al Juhaniy ra, ia berkata:

Artinya:

Rasulullah SAW pernah memerintahkan kami untuk melaksanakan nikah mut’ah ketika Fathul Makkah ketika akan memasuki kota Mekah. Lalu sebelum kami meninggalkan kota Mekah, beliau pun melarang kami dari bentuk nikah mut’ah tersebut. (HR. Muslim no 1406).

Nikah mut’ah sempat diperbolehkan atau dihalal sebanyak dua kali dan kemudian diharamkan.

Nikah mut’ah halal sebelum perang Khaibar kemudian haram setelah masa perang Khaibar selesai, lalu kembali diperbolehkan ketika fathu Mekah dan kemudian kembali diharamkan untuk selamanya.

Selain itu, ada pula beberapa sumber lain yang menyebutkan bahwa nikah mut’ah sempat dihalalkan pada masa-masa perang Khaibar, Umrah Qadha, perang Authar, Fathu Mekah, Haji Wada’ dan terakhir pada perang Tabuk.

Pada masa-masa tersebutlah, Nabi Muhammad memberi keringanan para prajurit perangnya untuk menikah secara mut’ah dengan penduduk setempat untuk mempertaruhkan nyawa demi membeli agama Islam.

Lalu setelah perang usai, maka putuslah tali pernikahan tersebut.

Hal ini dijelaskan pula dalam sebuah hadits sebagai berikut: “Rasulullah SAW memberikan perintah kepada kami untuk mut’ah pada masa-masa penaklukan kota Mekah, ketika kamu memasuki kota Mekah. Lalu sebelum kali keluar, beliau telah mengharamkannya atas kami.” (HR. Muslim)

Dari Salamah bin Akwa ra, ia berkata: “Rasulullah SAW telah memberi keringanan berupa mut’ah selama tiga hari ketika masa-masa perang Authas (atau dikenal pula dengan perang Hunain), lalu beliau melarang kami.” (HR. Muslim)

Pada riwayat lainnya dari Sabroh, ia berkata bahwa ia pernah mengikuti peperangan bersama dengan Rasul SAW ketika penaklukan kota Mekah, ia berkata:

Artinya: kami menetap selama 15 hari, (kira-kira di antara 30 malam atau 30 hari). Pada mulanya Rasulullah SAW memberikan izin pada kamu untuk melakukan nikah mut’ah, dengan perempuan… lalu aku melakukan nikah mut’ah dengan seorang gadis. Hingga aku keluar dari kota Mekah, maka turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulu SAW. (HR. Muslim. No 1406).

Lalu, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, mulailah terjadi perdebatan mengenai kawin mut’ah di antara mazhab Sunni dan Syiah.

Mazhab Sunni mengatakan, bahwa nikah mut’ah dilarang oleh Nabi Muhammad dalam berbagai macam kesempatan.

Kemudian terjadilah kesepatakan sejarah tentang nikah mut’ah ketika Umar bin Khattab ra menjabat sebagai khalifah yang menyatakan keharaman dari nikah mut’ah.

Baca Juga: Doa Harian, Inilah Doa Masuk WC yang Wajib Kamu Amalkan, Dilengkapi Juga dengan Adab Masuk Kamar Mandi

(*)

Editor : Puspita Rahayu

Sumber : gramedia.com

Baca Lainnya